Postingan

CANTIK ITU ULAR

  Ia merayap setalah langit dan bumi tidak kosong. Tidak gelap gulita. Tidak ketika sebuah roh melayang-layang di atas permukaan air.  Ketika itu tidak ada cerita bahwa matahari akan membakar dirinya. Namnya adalah Salsa. Perempuan cantik pertama di daerah tersembunyi. Daerah yang tidak pernah ada selain di dalam cerita tua. Di dalam kisah nabi-nabi di berbagai kitabnya.  Di dalam ingatan setiap manusia setelah agama bekerja di luar nalar dan logika.  Ia yang berdesis dalam kajadian-kejadian di masa lalu. Namun setelah ada yang berucap: “Jadilah terang.” Kemudian terang itu jadi. Karena terang dianggap baik, maka dipisahlah terang dan gelap masing-masing dengan nama yang berbeda, terang dinamai siang, gelap dinamai malam. Setelah hari pertama, sebelum ia menjadi  ada . Salsa yang cantik selalu menolak menjawab pertanyaan dari berbagai suara. Aku yang ikut bertanya tak pernah menerima jawaban apapun darinya. Itu sudah sangat lama. Sekarang pun tak ada satu jawaban darinya. Ia ada setela

Surat Kepada Para Penyair

Akhir-akhir ini, para penyair ribut. Satu penyair dengan penyair lain saling lempar batu di media sosial—tentu tidak sembunyi tangan—karena penyair, orang-orangny a  itu-itu saja. Masalahnya sepele, yakni kanonisasi sastrawan Indonesia . Menyatakan “itu-itu saja” bukan berarti tidak ada penyair muda. Bannyak. Sangat banyak sekali. Nahasnya, penyair muda menyusu kepada penyair tua. Penyair tua tidak mau melapas asuhannya. Mungkin demi menjaga tradisi—tradisi oligarki demi proyek-proyek kecil yang cukup untuk membeli kopi dan roti. Terciptalah golongan-golongan kecil dalam bersastra. Ada yang golongan utara, selatan, barat, dan timur, yang dikomandani satu penyair besar. Penyair yang bisa berbagi jatah hal ihwal project penelitian, pembukuan, perlombaan dan lain sebagainya. Tidak jadi soal. Karena menjadi penyair di negara ini harus fasih mengisap jempol setiap pagi. Menunggu salah satu karyanya dimuat . Kalo sudah dimuat tinggal menunggu honor, begitulah, laiknya mendapat tunjangan--mes

BANGKRUT

     “Hidup nahas bukan pilihanku. Dan tak ada manusia yang akan memilih hidup keparat macam ini.”   Aku berseloroh lantang tengah malam, di pinggir jalan, yang jalannya lurus tetapi curam seperti nasibku.      Usahaku untuk mencari nafkah beralih dari buruk ke bobrok .  Tidak beruntung .  Bangkrut, begitu mereka mengatakan tentangku. Akhir-akhir ini, orang-orang tak lagi banyak uang seperti sebelum-sebelumnya.      Tidak hanya masalah uang, orang-orang tidak lagi memiliki gairah untuk hidup. Apalagi membeli dan membaca buku seperti yang kuandaiakan. Mungkin saja mereka kehilangan semuanya untuk  sekadar hidup . Gampangnya, mereka tidak berminat untuk hidup  seperti dalam pikiraku.        Ini zaman yang membuat orang-orang memilih gila daripada waras tetapi tak berguna dan kelaparan. Zaman dimana jualanku, buku-buku agama, tak pernah laku dalam se tahun . Buku agama bukan buku main-main.  Satu pun tak ada yag laku. Padahal, katanya, mereka semua beragama dan jualan agama di mana-mana.

SIFAT BAIK DAUN YANG DIABAIKAN

Gambar
Konon, dewi cinta dari Yunani, Aphrodite, pernah berujar bahwa tidak ada yang lebih indah di dunia ini dibandingkan dengan sekuntum bunga, dan tidak ada yang lebih esensial dari pada tanaman. Percaya atau tidak, rahim sejati kehidupan manusia adalah daun-daun hijau yang menyelimuti bumi; karenanya, manusia bisa bernafas, makan, dan melangsungkan siklus kehidupan. Daun dalam cerpen Daruz Armedian (selanjutnya dibaca DA), memang bukan satu sub tema yang melatarbelakangi lahirnya ke tiga puluh cerpennya. Hanya saja, jika daun menjadi modus operandi untuk dibahas lebih jauh dan mendalam, tentu menjadi sesuatu yang unik dan menarik. Terlepas, apakah DA sadar atau tidak memberi judul antologi cerpennya dengan Sifat Baik Daun . Namun daun merupakan salah satu penyumbang terbesar dari 375 milyar ton makanan yang dikonsumsi manusia. Dengan matahari, udara, dan tanah, daun-daun menyemai menjadi bagian penting bagi kehidupan. Cerpen yang berjudul Sifat Baik Daun (hlm. 50), menceritakan

Kepada Puisiku

mata puisiku rabun pada sumpah serapah orang-orang buntung negeri ini pulau-pulau pun murung bau mesiu, air mata, dan darah mengekalkan ingatan tentang belada luka oh tuan, tidak ada yang benar-benar berlalu meski puisi adalah nenek tua berlidah kelu terbayang samar, mata merah penuh darah, tubuhnya selegam malam, jubahnya seputih awan tangan dan lidahnya seperti pedang tuhan yang tidak mengenal ampun malam yang terbuat dari irama angin gaduh dan anyir yang mereka bayangkan surga adalah air mata dan tangisan demi Tuhan yang dibuat sendiri puisi ini hanyalah debu yang kering bagi kesakitan yang menjelma hujan karena lidahnya telah kaku untuk sekedar melafalkan kengerian dan kau harus tahu, sekarang di sini tidak ada perang selain di dalam diri, di dalam diam 2017

VOLTAIRE DAN AKU YANG MALANG

Suatu sore, 15 juli 1689, di bibir pantai Bretagne, Perancis, sang Pastor de Kerkabon dan Nona de Kerkabon mengais masa lalu pada lembab pasir dan deru ombak yang sulit dilupakan; tentang saudara dan iparnya yang tak pernah kembali setelah menaiki kapal L’ Herondelle menuju Kanada. Barangkali kehilangan adalah pengakuan dosa dari pertemuan yang pernah ada. Begitu Voltaire memulai cerita dalam novelnya Si Lugu ( L’ Ingenu ). Masa lalu dan kehilangan menjadi modus siklik untuk semua tokoh yang kelak juga akan merasa kehilangan. Begitupun aku, pada 11 Oktober 2016 lalu, kepergiannya menjadi lonceng sunyi yang mengutukku ke semua sudut kota. Bagiku, kepergiannya adalah pengampunan dari perpisahan yang pernah ada kepada yang lain. Sebagaimana Si Lugu, tokoh utama, tiba-tiba turun dari perahu dan bertemu dengan sang pastor. Setelah percakapan singkat, mereka sepakat untuk melanjutkan perjamuan di Paroki Notre-Dame de la Montagne. Perjamuan menjadi alasan untuk berbagai cerita dan jawab