Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2018

SIFAT BAIK DAUN YANG DIABAIKAN

Gambar
Konon, dewi cinta dari Yunani, Aphrodite, pernah berujar bahwa tidak ada yang lebih indah di dunia ini dibandingkan dengan sekuntum bunga, dan tidak ada yang lebih esensial dari pada tanaman. Percaya atau tidak, rahim sejati kehidupan manusia adalah daun-daun hijau yang menyelimuti bumi; karenanya, manusia bisa bernafas, makan, dan melangsungkan siklus kehidupan. Daun dalam cerpen Daruz Armedian (selanjutnya dibaca DA), memang bukan satu sub tema yang melatarbelakangi lahirnya ke tiga puluh cerpennya. Hanya saja, jika daun menjadi modus operandi untuk dibahas lebih jauh dan mendalam, tentu menjadi sesuatu yang unik dan menarik. Terlepas, apakah DA sadar atau tidak memberi judul antologi cerpennya dengan Sifat Baik Daun . Namun daun merupakan salah satu penyumbang terbesar dari 375 milyar ton makanan yang dikonsumsi manusia. Dengan matahari, udara, dan tanah, daun-daun menyemai menjadi bagian penting bagi kehidupan. Cerpen yang berjudul Sifat Baik Daun (hlm. 50), menceritakan

Kepada Puisiku

mata puisiku rabun pada sumpah serapah orang-orang buntung negeri ini pulau-pulau pun murung bau mesiu, air mata, dan darah mengekalkan ingatan tentang belada luka oh tuan, tidak ada yang benar-benar berlalu meski puisi adalah nenek tua berlidah kelu terbayang samar, mata merah penuh darah, tubuhnya selegam malam, jubahnya seputih awan tangan dan lidahnya seperti pedang tuhan yang tidak mengenal ampun malam yang terbuat dari irama angin gaduh dan anyir yang mereka bayangkan surga adalah air mata dan tangisan demi Tuhan yang dibuat sendiri puisi ini hanyalah debu yang kering bagi kesakitan yang menjelma hujan karena lidahnya telah kaku untuk sekedar melafalkan kengerian dan kau harus tahu, sekarang di sini tidak ada perang selain di dalam diri, di dalam diam 2017

VOLTAIRE DAN AKU YANG MALANG

Suatu sore, 15 juli 1689, di bibir pantai Bretagne, Perancis, sang Pastor de Kerkabon dan Nona de Kerkabon mengais masa lalu pada lembab pasir dan deru ombak yang sulit dilupakan; tentang saudara dan iparnya yang tak pernah kembali setelah menaiki kapal L’ Herondelle menuju Kanada. Barangkali kehilangan adalah pengakuan dosa dari pertemuan yang pernah ada. Begitu Voltaire memulai cerita dalam novelnya Si Lugu ( L’ Ingenu ). Masa lalu dan kehilangan menjadi modus siklik untuk semua tokoh yang kelak juga akan merasa kehilangan. Begitupun aku, pada 11 Oktober 2016 lalu, kepergiannya menjadi lonceng sunyi yang mengutukku ke semua sudut kota. Bagiku, kepergiannya adalah pengampunan dari perpisahan yang pernah ada kepada yang lain. Sebagaimana Si Lugu, tokoh utama, tiba-tiba turun dari perahu dan bertemu dengan sang pastor. Setelah percakapan singkat, mereka sepakat untuk melanjutkan perjamuan di Paroki Notre-Dame de la Montagne. Perjamuan menjadi alasan untuk berbagai cerita dan jawab