Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

CANTIK ITU ULAR

  Ia merayap setalah langit dan bumi tidak kosong. Tidak gelap gulita. Tidak ketika sebuah roh melayang-layang di atas permukaan air.  Ketika itu tidak ada cerita bahwa matahari akan membakar dirinya. Namnya adalah Salsa. Perempuan cantik pertama di daerah tersembunyi. Daerah yang tidak pernah ada selain di dalam cerita tua. Di dalam kisah nabi-nabi di berbagai kitabnya.  Di dalam ingatan setiap manusia setelah agama bekerja di luar nalar dan logika.  Ia yang berdesis dalam kajadian-kejadian di masa lalu. Namun setelah ada yang berucap: “Jadilah terang.” Kemudian terang itu jadi. Karena terang dianggap baik, maka dipisahlah terang dan gelap masing-masing dengan nama yang berbeda, terang dinamai siang, gelap dinamai malam. Setelah hari pertama, sebelum ia menjadi  ada . Salsa yang cantik selalu menolak menjawab pertanyaan dari berbagai suara. Aku yang ikut bertanya tak pernah menerima jawaban apapun darinya. Itu sudah sangat lama. Sekarang pun tak ada satu jawaban darinya. Ia ada setela

Surat Kepada Para Penyair

Akhir-akhir ini, para penyair ribut. Satu penyair dengan penyair lain saling lempar batu di media sosial—tentu tidak sembunyi tangan—karena penyair, orang-orangny a  itu-itu saja. Masalahnya sepele, yakni kanonisasi sastrawan Indonesia . Menyatakan “itu-itu saja” bukan berarti tidak ada penyair muda. Bannyak. Sangat banyak sekali. Nahasnya, penyair muda menyusu kepada penyair tua. Penyair tua tidak mau melapas asuhannya. Mungkin demi menjaga tradisi—tradisi oligarki demi proyek-proyek kecil yang cukup untuk membeli kopi dan roti. Terciptalah golongan-golongan kecil dalam bersastra. Ada yang golongan utara, selatan, barat, dan timur, yang dikomandani satu penyair besar. Penyair yang bisa berbagi jatah hal ihwal project penelitian, pembukuan, perlombaan dan lain sebagainya. Tidak jadi soal. Karena menjadi penyair di negara ini harus fasih mengisap jempol setiap pagi. Menunggu salah satu karyanya dimuat . Kalo sudah dimuat tinggal menunggu honor, begitulah, laiknya mendapat tunjangan--mes

BANGKRUT

     “Hidup nahas bukan pilihanku. Dan tak ada manusia yang akan memilih hidup keparat macam ini.”   Aku berseloroh lantang tengah malam, di pinggir jalan, yang jalannya lurus tetapi curam seperti nasibku.      Usahaku untuk mencari nafkah beralih dari buruk ke bobrok .  Tidak beruntung .  Bangkrut, begitu mereka mengatakan tentangku. Akhir-akhir ini, orang-orang tak lagi banyak uang seperti sebelum-sebelumnya.      Tidak hanya masalah uang, orang-orang tidak lagi memiliki gairah untuk hidup. Apalagi membeli dan membaca buku seperti yang kuandaiakan. Mungkin saja mereka kehilangan semuanya untuk  sekadar hidup . Gampangnya, mereka tidak berminat untuk hidup  seperti dalam pikiraku.        Ini zaman yang membuat orang-orang memilih gila daripada waras tetapi tak berguna dan kelaparan. Zaman dimana jualanku, buku-buku agama, tak pernah laku dalam se tahun . Buku agama bukan buku main-main.  Satu pun tak ada yag laku. Padahal, katanya, mereka semua beragama dan jualan agama di mana-mana.