Surat Kepada Para Penyair

Akhir-akhir ini, para penyair ribut. Satu penyair dengan penyair lain saling lempar batu di media sosial—tentu tidak sembunyi tangan—karena penyair, orang-orangnya itu-itu saja. Masalahnya sepele, yakni kanonisasi sastrawan Indonesia.

Menyatakan “itu-itu saja” bukan berarti tidak ada penyair muda. Bannyak. Sangat banyak sekali. Nahasnya, penyair muda menyusu kepada penyair tua. Penyair tua tidak mau melapas asuhannya. Mungkin demi menjaga tradisi—tradisi oligarki demi proyek-proyek kecil yang cukup untuk membeli kopi dan roti.

Terciptalah golongan-golongan kecil dalam bersastra. Ada yang golongan utara, selatan, barat, dan timur, yang dikomandani satu penyair besar. Penyair yang bisa berbagi jatah hal ihwal project penelitian, pembukuan, perlombaan dan lain sebagainya.

Tidak jadi soal. Karena menjadi penyair di negara ini harus fasih mengisap jempol setiap pagi. Menunggu salah satu karyanya dimuat. Kalo sudah dimuat tinggal menunggu honor, begitulah, laiknya mendapat tunjangan--meskipun tidak mungkin terjadi--sementara dari pemerintah untuk menjalani hidup yang makin keras dan ganas.

Soal kanonisasi, masalahnya, penyair P kurang sepakat dengan para kuratornya. Penyair V tidak setuju dengan nama-nama yang dipilih dan diajukan sebagai penyair. Ada yang mendukung, ada yang menolaknya. Tentu saja, setiap penyair A sampai penyair Z memiliki alasannya masing-masing. Bisa dibenarkan? Bisa.

Penyair yang namanya tercatat, ada yang menarik diri, ada yang diam-diam saja, ada yang tidak tahu apa-apa tentang masalah tersebut. Tentu saja macam sikap begitu ada alasannya masing-masing. penyair juga manusia, sama kaya kita-kita, pembaca karyanya.

Setiap alasan memiliki pijakan epistimologis. Betul, kerena mereka mendaku diri sebagai juru kata, juru bahasa, dan budaya. Tidak bisa dipungkiri bahwa mereka adalah para pembaca dan penulis yang menghibahkan usianya untuk pengetahuan secara luas dan kesusastraan khususnya.

Dengan latar belakang yang berbeda, kehendak yang berbeda, dan kecenderungan yang berbeda, mereka—para penyair—adalah pawang bahasa, nabi kebudayaan, dan tuan yang berpendidikan. Meski hidup di negara yang miskin apresiasi, mereka tetap tegar dan berkarya dengan cincin kemiskinannya.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa semua penyair itu miskin harta. Bisa saja saya keliru bila menjeneralisirnya. Terlepas dari semua itu, penyair tetap bisa dijamin, bahwa hati dan pikiran mereka lebih kaya dari cukong negara. Tugasnya sebagai penyair, bisa dibilang sebagai tugas mulya tiada tara.

Bicara tugas mulya sebagai penyair, tentu ada dasarnya. Dulu, jika tidak salah ingat, ketika mondok di pesantren, ada sebuah surat dalam Alquran, yang khusus diturunkan kepada para penyair: berupa teguran sekaligus pengecualian atas jenis-jenis penyair. Tentu konteksnya penyair pada masa lalu dan sekarang. Untuk masalah ini, karena saya bukan pakar Alquran macam Quraish Shihab dan ulama-ulama besar di pesantren lainnya, saya kira tak perlu bicara ini lebih jauh.

Mari kita bicara masalah yang ada di depan mata. Sejenak merenung dan memahami konteks dari masalah-masalah yang akan saya usulkan di bawah ini. Selain itu,  kita lupakan masalah kanonisasi sastrawan Indonesia itu. Ada persoalan yang lebih serius, lebih mendesak, dan tentu mengenaskan bila dibiarkan begitu saja. Apa saja masalah itu?

1. Bagaimana sastrawan berkarya di tengah gempuran ragam media? Mengacu pada realitas sekarang, banyak pemuda alih-alih mengenal penyair, membaca karya sastra saja adalah sesuatu kemewahan. Tiktok, Youtube, Instagram, dan lainnya merupakan realitas baru bagi generasi masa depan. Bagaimana puisi masuk ke dalam ranah Tiktok, Youtube, dan lain-lain?

Saya membayangkan karya sastra yang berupa teks dapat masuk atau mengambil peranan dalam ragam media. Hanya dengan itu—menurut saya—karya sastra dikenal dan dinikmati kalangan muda milenial. Cara lama seperti pengajaran karya sastra di Lembaga formal tidak memiliki dampak apapun selain kesia-siaan. Jika tidak percaya, tanya saja sama anak muda yang kira-kira lahir tahun 90-an-tau 2000-an. Jangan harap mereka kenal dengan penyair-penyair yang katanya sebagai nabi kebudayaan itu.

2. Dimana para sastrawan di tengah darurat agraria, darurat pangan, dan krisis identitas berbangsa dan bernegara. Tanah para petani dirampas investor, penyair duduk manis membaca puisi cinta dan rindu. Identitas kebudayaan dipersekusi anak sukunya sendiri, penyair masih mabuk rindu dan tuak kenangan. Dimana puisi dan penyair kita? Tak ada perlawanan, tak ada pembelaan selain nasib sial masyarakat bawah.

Tidak. Tidak ada maksud menambah tugas sastrawan untuk menjadi pahlawan atau penegak keadilan bagi ketimpangan. Yang seharusnya adalah tugas aparat negara. Tidak, Melainkan hanya menyoal bagaimana karya sastra berbicara akan hal itu. Tentu saja itu adalah kebenaran berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini. Dan kalau tidak salah ingat, sastra adalah pijakan atas kebenaran itu sendiri. Bahkan satu-satunya ruang bagi kebenaran sejati.

3. Bagaima penyair mengambil posisi di tengah politik dinasti?

Politik dan penyair diibaratkan dua mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Saya mengerti betul bagaimana sastrawan berpihak dan menolak kebijakan politis. Sebut saja seperti Pramoedya Ananta Toer, atau Rendra, atau Widji Thukul, nama terakhir lenyap selain puisi-puisi konfrontasinya yang bergema sampai sekarang. Di sisi lain, sebagaimana saya katakan di atas, penyair lebih melek pengetahuan dari pada petani tambak atau petani tembakau di pelosok sana. Jangan harap dapat jawaban dari petani tembakau di daerahku, yang polosok, yang tidak tahu menahu selain bertani, jika ditanya siapa calon Pilkada di Solo deket-deket ini. Penyair jangan ditanya hal politik, pasti sangat tahu karena ia adalah insan pembaca yang luhur dan agung.

4. Siapa kritikus sastra kita? Bagaimana penyair dianggap menjadi penyair tanpa ada meja penghakiman dari seorang keritikus? Setelah H.B Jassin tidak ada lagi yang menuruskan kerja kritiknya terhadap karya sastra yang terus ada dan berkembang sampai sekarang. Karya sastra tumbuh dan berkembang namun tak "seorang pun" yang mengulas dan memosisikan karya tersebut pada tempat yang selayaknya. Jika pun ada, siapa, bagaimana, mana karyanya? Atau jangan-jangan mainku kurang jauh, ngopiku kurang malam, bacaanku belum jauh, hingga tidak tahu kritikus sastra yang sekarang. Jika begitu adanya, ya maaf ki sanak! Tetapi, anggap saja bahwa tidak ada kritikus sastra, maka saya curiga, jangan-jangan karna absennya kritikus, sastra berjalan di pinggir rel saja. Akhirnya sastra hanya untuk sastra; penyair hanya dengan penyair; dan hal itulah yang terjadi kini. Tentu akan terus terjadi. 

Sejatinya banyak permasalahan yang belum dirumuskan. Bisa jadi jika pembaca karya sastra yang lain, selain saya, urun rembuk menambahkan banyak permasalahan dalam kesusastraan Indonesia. Tentu lebih dari empat permasalahan di atas, jika diurun, lebih dari dan terus lebih dari jika semuanya bersuara. 

Masihkan perlu kanonisasi sastrawan Indonesia? Menurutku tidak sama sekali. Masalah di atas sangat mendesak dan perlu kita diskusikan bersama. Tentu saja tulisan ini sebatas tulisan yang tidak ada maksud apa-apa selain karena dorongan pribadi. Selebihnya saya hanyalah penikmat karya sastra, bukan penulis sastra tulen seperti mereka--yang telah menyandang penyair karena buku-bukunya. 

Selebihnya karena khawatir dengan keadaan sastra Indonesia akhir-akhir ini. Orang khawatir sebatas khawatir, sisanya adalah mari berkarya dan terus berkarya. Aish...jangan ditanya kenapa khawatir. Pasalnya khawatir itu manusiawi layaknya polemik canonisasi penyair itu. Oh ya, jika ada yang tersinggung, atau mau urun rembuk permasalahan, monggo diketikkan. Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIFAT BAIK DAUN YANG DIABAIKAN

DIDAKTIK DALAM SYAIR KLASIK

PERJALANAN SUNYI