SIFAT BAIK DAUN YANG DIABAIKAN
Konon, dewi cinta dari Yunani, Aphrodite,
pernah berujar bahwa tidak ada yang lebih indah di dunia ini dibandingkan
dengan sekuntum bunga, dan tidak ada yang lebih esensial dari pada tanaman. Percaya
atau tidak, rahim sejati kehidupan manusia adalah daun-daun hijau yang
menyelimuti bumi; karenanya, manusia bisa bernafas, makan, dan melangsungkan
siklus kehidupan.
Daun dalam cerpen Daruz Armedian
(selanjutnya dibaca DA), memang bukan satu sub tema yang melatarbelakangi
lahirnya ke tiga puluh cerpennya. Hanya saja, jika daun menjadi modus operandi
untuk dibahas lebih jauh dan mendalam, tentu menjadi sesuatu yang unik dan
menarik.
Terlepas, apakah DA sadar atau tidak memberi
judul antologi cerpennya dengan Sifat
Baik Daun. Namun daun merupakan salah satu penyumbang terbesar dari 375
milyar ton makanan yang dikonsumsi manusia. Dengan matahari, udara, dan tanah,
daun-daun menyemai menjadi bagian penting bagi kehidupan.
Cerpen yang berjudul Sifat Baik Daun (hlm. 50), menceritakan tentang adanya daun yang
bisa berpikir; daun yang bertanya-tanya eksistensi dirinya. Meski dalam cerpen
ini, makna dan arti penting daun belum dieksplorasi dengan utuh. Tetapi dapat
ditangkap beberapa kalimat:
“Daun baik hati yang telah ikut andil
menyejukkan tempat ini, (juga pesan terakhir di akhir cerpennya). Daun ini tahu, tapi ia tidak menghiraukan
semua itu. Ia tetap menolong. Bukankah cara menolong itu memang harus tanpa
pamrih, tanpa diperlihatkan pada yang lain? Ia akhir-akhir ini berpikir jenius.
Sekaligus bijak dan tulus.” (hlm. 55).
Yang saya kutipkan di atas, adalah antitesis
dari bangunan ceritanya. Cerita itu bermula, seorang remaja yang bermesraan di
bawah pohon, di pinggir sungai, dan abai pada semut yang juga pacaran. Tapi
semut bernasib sial. Ia jatuh ke dalam sungai dan dibawa arus yang deras.
Menariknya, daun yang bisa mengerti nasib
sial semut dan kekasihnya. Dan daun dapat menyelamatkannya.
Tindakan daun ini selaras dengan
pembuktian Charles Darwin—setelah mematahkan tesis Carl Von Linne, bapak botani
modern—bahwa setiap sulur tanaman memiliki kekuatan untuk bergerak independen. Tanaman
akan bergerak atau beraktivitas adalah ketika bersifat simbiosis mutualisme.
Bahkan pada permulaan abad ke-20, salah
satu ahli biologi berbakat dari Wina, Raoul France mengemukakan gagasan yang
mengejutkan para filsuf alam kontemporer. Ia meyakini bahwa tanaman
menggerakkan tubuhnya sama bebas, mudah, dan anggunnya dengan manusia atau pun
hewan yang terlatih. Satu-satunya alasan, manusia tidak menyadari pergerakannya
karena tanaman bergerak lebih lambat dari pada manusia.
Dengan begitu, usaha daun menolong semut
yang hendak tenggelam dan dihanyut air bukan tidak masuk akal, melainkan
sejalan dengan sifat baik daun yang kerap diabaikan.
Sepertinya, pesan terakhir dari cerpen Sifat Baik Daun dimaksudkan agar manusia
belajar kepada daun. Daun yang rela mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan
semut. Semut yang juga lagi kasmaran dengan pasanganya sebagaimana si remaja.
Dan yang penting, semut juga bagian penting dari siklus kehidupan manusia di
dunia ini.
Misal juga, dalam cerpen yang berjudul Sepasang Mata Ibu dan Sepasang Mata Bocah
Lugu. (hlm. 69). Ceritanya
dibangun dengan dua tokoh dan satu tokoh sampingan. Dengan menghadirkan tokoh
anak kecil, yang polos, yang abai, atau lebih tepatnya tidak mengerti gemuruh
hidup. Sedangkan ibunya digambarkan sebaliknya, sedih, lapar, lemah dan
sebatangkara di tengah kota. Yang menarik adalah, pertanyaan-pertanyaan si anak
(anaknya) kepada ibunya. Ia menyoal daun yang jatuh dan angin yang berhembus. Namun
ibunya menjawab dengan getir seperti nasib buruk yang dialaminya.
“Kenapa
daun-daun itu jatuh, Ibu?” Pertanyaan itu diulang dua kali oleh anaknya. Ibunya tidak
menjawab, hanya menghembuskan nafas berat, hingga pada pertanyaan “Kenapa ada angin yang menerjangnya?” Karena
belum ada jawaban, akhirnya, anaknya menyimpulkan bahwa “Berarti angin itu jahat.” Pada pertanyaan ketiga inilah, ibunya
balik bertanya pada anaknya (di halaman yang sama dengan yang di atas), “Kenapa angin itu jahat?”
Jawaban si anak hanya bisa diukur dengan
kepolosanya, bukan pada yang lain. Juga tidak pada ranah epistemologis akan
nilai di balik daun yang jatuh. Meskipun angin sebagai alasan, “Karena angin yang telah menjatuhkan
daun-daun.” Ibunya diam. Sedangkan jawaban polos anaknya dapat diartikan setali
tiga uang dengan tidak pahamnya penulis akan terminologi daun yang jatuh.
Posisi tanaman, termasuk daun bagiannya,
setengah abad yang lalu, France meyakini—memiliki
semua sifat makhluk hidup, termasuk juga memiliki respon dan reaksi keras
terhadap kekerasan dan paling luhur berterimakasih pada anugerah—meski keburu diabaikan.
Dengan begitu, daun jatuh bukan semata karena angin, melainkan banyak faktor. Salah
satunya, bisa saja proses absisi yang barkaitan dengan tingkat kandungan auksin
pada daun yang akan jatuh.
Beruntung sekali (dalam cerpen di atas),
anak itu terus bertanya pada ibunya. Meskipun pertanyaannya berbasis pada
imajinasi—sebagaimana antologi cerpen ini—dari pohon belimbing daunya kerap
jatuh, dan pohon beringin yang tampak seram.
Seterusnya, temuan-temuan tentang ajaibnya
tumbuhan, di akhir tahun 60-an dapat dilacak pada Marcel Vogel dan Peter Pringsheim dalam
bukunya Luminescence in Liquid and Solids
and Their Practical Aplication. Juga Peter Tompkinn dan Christopher Bird
dengan bukunya Secret Life of The Plant.
Meski sikap skeptis terhadap tanaman—ia
selayaknya manusia, bisa berpikir, berbicara, dan berinteraksi—masih kerap
dijumpai hingga saat ini. Akan tetapi, kebutuhan manusia kepada tumbuhan,
daun-daun, buah-buahan, kayu hingga akarnya tidak bisa dipungkiri.
Imajinasi: batu
lompatan
Antologi cerpen ini menarik karena menjadikan
tumbuhan, alam, dan hewan sebagai batu lompatan imajinasi. Jangan heran, dengan
kekuatan imajinasi, pembaca akan diseret ke bagian-bagian cerpen, ke segala
ruang, dan waktu tanpa disadari. Misal:
“Dan daun ini
melihat semua tanpa ada yang terlewat. Ia masih tenang. Memang seperti itulah
sifat daun. Tenang dan menyejukkan. Apalagi cerita ini belum menemukan
konfliknya. Masih dalam tahap pengenalan.” (hlm. 52).
Lanjut
pada paragraf selanjutnya, di tengah jalannya cerita.
“Sehingga, saya
sendiri, sebagai penulis, menyangka anginlah yang marah. Kejadian seperti ini
membuat tragedi kecil: daun-daun berguguran (tetapi tidak termasuk daun yang
ini) dan sepasang semut romantis jatuh ke dalam sungai yang tenang. Walaupun
tenang, ternyata sungai menghanyutkan.”
Selama cerita belum sampai pada titik
konflik, penulis selalu punya kesempatan untuk mengolok-olok pembaca. Posisi
daun, hewan, atau nama-nama penulis (yang dikagumi dan karyanya telah selesai
dilahap) menjadi sebuah jeda penulis untuk bernafas. Kemudian cerita dan konflik
akan mengalir dengan dikuatkan lagi dengan imajinasi yang lain.
Untuk melihat lebih jauh, bagaimana imajinasi
berperan penting dalam antologi ini—untuk tidak mengatakan semuanya—dapat saya
sebutkan beberapa cerpen yang berjudul Dalima
Dilema pada Dua Delima (hlm. 99), Alasan
Kenapa Membenci Babi (hlm. 33), Diduga
Patah Hati, Lelaki Ini Minum Kopi Beserta Cangkirnya (hlm. 86), Mahar Pohon-Pohon (hlm. 132), Tentang Perempuan Tanpa Kata-Kata Atau
Pohon yang Ditebang Salah Satu Manusia atau Lelaki yang Tidak Bisa Berbuat
Apa-Apa Kecuali Setia (hlm. 153), dan Menceritakan
Hujan (hlm. 159).
Seolah yang paling berharga dari antologi
cerpen ini hanyalah imajinasi. Namun apakah
karena penulis yang masih muda, atau sengaja dalam menuliskan cerita-cerita
dalam antologi pertamanya.
Lalu, apakah cerpen yang digubah atas
dasar imajinasi merupakan suatu kecacatan atau ketidak berhasilan? Tentu tidak,
jawabannya. Keberhasilan cerita, konon, hanya dapat diukur dengan seberapa mampu,
cerita meyakinkan pembaca. Lebih-lebih membuat pembaca belajar banyak hal meski
yang remeh temeh.
Yang menarik juga, meski penulis masih
berusia muda, Sifat Baik Daun akan
menawarkan, bagi orang yang sangat fanatik dengan struktur cerpen: plot, tokoh,
alur dan konflik; akan dibenturkan dengan yang sebaliknya. Akan ditemukan,
misalnya cerpen yang satu lembar dan terkadang, tokoh, alur, dan ceritanya
belum benar-benar tuntas tapi sudah berganti dengan judul dan yang lain.
Lain lagi, dalam cerpen yang berjudul Diduga Patah Hati, Lelaki Ini Minum Kopi
Beserta Cangkirnya (hlm. 86), pada salah satu paragrafnya, terdiri dari
sekumpulan abjad yang seolah seperti main-main tanpa maksud tertentu. Seolah
semua abjad dalam kyboard ditekan
bersamaan atas dasar kemandekan atau kebuntuan. Tapi jangan salah, di tengah kerumunan abjad, akan ada beberapa umpatan, nama yang sangaja disisipkan. Inilah
yang akan menarik pembaca agar lebih melotot dan bebas berpraduga.
Antologi cerpen ini layak disebut sebagai
taman bunga atau kebun binatang. Karena pembaca
akan dihadapkan dengan berbagai tanaman, hewan, dan cerita imajiner yang
ditulis dengan sengaja. Seolah meneguhkan hakikat manusia yang seharusnya
melanjutkan cita-cita luhur Herculian: mengembalikan dunia menjadi sebuah
taman bunga. Taman yang enak dan nyaman
ditinggali.*
Judul : Sifat Baik Daun
Penulis : Daruz Armedian
Penerbit : Basabasi
Cetakan : November 2017
Tebal
halaman : 172 hlm
ISBN
: 978-602-6651-39-6
Komentar
Posting Komentar