VOLTAIRE DAN AKU YANG MALANG


Suatu sore, 15 juli 1689, di bibir pantai Bretagne, Perancis, sang Pastor de Kerkabon dan Nona de Kerkabon mengais masa lalu pada lembab pasir dan deru ombak yang sulit dilupakan; tentang saudara dan iparnya yang tak pernah kembali setelah menaiki kapal L’ Herondelle menuju Kanada. Barangkali kehilangan adalah pengakuan dosa dari pertemuan yang pernah ada.
Begitu Voltaire memulai cerita dalam novelnya Si Lugu (L’ Ingenu). Masa lalu dan kehilangan menjadi modus siklik untuk semua tokoh yang kelak juga akan merasa kehilangan. Begitupun aku, pada 11 Oktober 2016 lalu, kepergiannya menjadi lonceng sunyi yang mengutukku ke semua sudut kota. Bagiku, kepergiannya adalah pengampunan dari perpisahan yang pernah ada kepada yang lain.
Sebagaimana Si Lugu, tokoh utama, tiba-tiba turun dari perahu dan bertemu dengan sang pastor. Setelah percakapan singkat, mereka sepakat untuk melanjutkan perjamuan di Paroki Notre-Dame de la Montagne. Perjamuan menjadi alasan untuk berbagai cerita dan jawab bagi semua pertanyaan. Tahukah!? Bahwa Si Lugu meruapakan keponakannya sang pastor. Anak dari kakaknya yang pernah ada.
Siapa sangka, kekasihku akan pergi begitu saja, menyisakan sesak di dada. Begitu juga sang pastor, pertemuan dengan Si Lugu merupakan anugerah atas kehilangan kakak dan iparnya yang menjadi dosa perjumpaan. Kekasihku pergi dengan satu alasan, bagi Nona de Saint-Yves, kepergian meski demi kebaikan adalah bentuk kejahatan yang lain. Aku mengamini pernyataan nona cantik itu.
Sebelum jauh kuceritakan tentang Si Lugu, lebih baik simak ceritaku dengan kekasihku, sekarang mantanku. Pertengahan 2013, aku melihat mata sipit dan wajah yang bulat. Anggun sekali. Seringkali wajah itu membuatku menyisakan tenaga dengan kesiapan jiwa untuk sekedar melihat meski sejenak. Wajahnya yang selalu menawan membatinkan se titik rasa dalam jiwaku.
Satu bulan berlalu. Hari-hariku kumuh oleh wajahnya. Satu puisi hingga puluhan puisi lahir atas nama dirinya. Bahkan catatan kecil yang kubuat prosaik selalu kukirimkan padanya. Aku tak akan mengenal kompromi sebagaimana Si Lugu ketika diminta untuk konsultasi pada pamannya oleh Nona de Saint-Yves. Aku dan di Si lugu seolah sepakat bahwa cinta yang sebenarnya adalah keras kepala. Tak ada tuan dan hamba dalam hal cinta.
Antara kisahku dan Si Lugu tak jauh berbeda. Jika hubunganku kandas karena adat dan etnis, kisah Si Lugu jauh lebih manis kesannya; perpisahannya karena ditinggal mati oleh nona de Saint-Yves. Tapi kematiannya mengisaratkan sejarah kepastoran yang busuk saat itu.

Si Lugu dan Aku

            Dengan sikapnya yang lugu, ia selalu mengatakan apa adanya. Suatu hari, ketika keluarga de Kerkabon sepakat untuk membaptisnya, Si Lugu pun mengiyakan. Tapi tahukah kamu, Si Lugu benar-benar lugu. Ia tak tahu berbagai cara pembaptisan yang bisa saja berubah di setiap daerah. Namun Si Lugu masih percaya dengan kisah Ratu Candace yang dibaptis di sungai. Sesuai dengan cerita dalam al-Kitab yang ia baca.
            Penolakan terhadap pembaptisan ala kepastoran Perancis membuat keluarganya kebingungan. Si Lugu hanya mau dibaptis sebagaimana Ratu Candace. Tak lebih. Maka hanya ada satu cara untuk menaklukkannya, yaitu Nona de Saint-Yves. Dengan suaranya yang lembut dan wajahnya yang merona, nona itu berhasil membujuk untuk dibaptis ala Perancis. Sebagai titik didih cinta Si Lugu pada sang nona.
 Aku dan Si Lugu, atau mungkin kamu juga sepakat, bahwa Tuhan menciptakan wanita semata-mata untuk menjinakkan laki-laki atau sebaliknya menjadikannya singa padang pasir, jika cintanya dimentahkan. Sebagaimana kisah Hercules ketika Euryte, raja Oechalie menolak memberikan putri cantiknya yang bernama Lole. Ia meraung, seperti Si Lugu juga bersumpah untuk membakar Biara.
Namun aku tidak sama sekali. Cintaku pada mantanku adalah air mata yang mengering. Mungkin bisa dibilang hal itu tidak sejati atau tidak jantan sama sekali. Tapi itulah keyakinanku sebagaimana Voltaire berkeyakinan bahwa air mata bisa menyembuhkan luka. Kerana air mata yang keluar dari tubuh adalah cara lain untuk menepikan keangkuhan sebagai manusia mesin Tuhan.
Kematian Nona de Saint-Yves setelah menikah dengan Si Lugu mengisaratkan kisah bobroknya kepastoran pada saat itu. Tahukah kamu, ketika Si Lugu menggila karena dilarang menikah oleh Pastor de Saint-Yves, ia berpetualang hingga ditahan dan di pernjara bawah tanah oleh Raja Perancis kala itu.
Usaha untuk membebaskan Si Lugu dilakukan oleh semua keluarganya, tapi menumui jalan buntu. Hanya Nona de Saint-Yves lah yang bisa membebaskannya meski harus mengorbankan hal yang paling berharga dalam hidupnya. Nona malang itu harus menyerahkan keperawanannya kepada Pastor Saint-Pounge. Hanya dengan begitu pujaan hatinya terbebas dari penjara laknat itu.
Nona dan Si Lugu percaya bahwa kemerdekaan kerena cinta adalah jalan hidupnya. Dan cinta keduanya melelehkan jeruji besi dan tembaga sekalipun. Sayang, kekuasaan seringkali merenggut kesucian cinta seseorang. Tak ayal, perasaan bersalah terus memburu nona itu hingga jiwanya beku dan raganya terhempas dari kehidupan.
Benarkan kekuasaan menjadi tangan-tangan jahil bagi kesajatian cinta. Kujawab iya. Karena cintaku pada mantan kekasihku telah dinodai alat adat yang latah, streotipe yang busuk dan pengingkaran yang tanpa alasan.
Antara aku dan Si Lugu atau juga kamu suatu saat akan kehilangan orang yang paling berharga: orang yang paling dipuja sepanjang usia. Tapi apa arti kesejatin jika penghianatan bisa datang kapan saja. Aku dan Si Lugu hanya bisa menyediakan payung dari guyuran duka,  karena gemuruh pengharapan yang bisa gugur kapan saja. Dimana saja.
Kehilangan bagi Si Lugu dan juga bagiku adalah jembatan menuju tangga kesadaran, bahwa manusia tak akan terbebas dari derita. Satu-satunya bonek pembebas adalah cinta yang sejati, bukan cinta yang serupa simulasi. Dan hanya kematian alasan satu-satunya yang dapat dikatakan kebenaran untuk menegasikan kemunafikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIFAT BAIK DAUN YANG DIABAIKAN

DIDAKTIK DALAM SYAIR KLASIK

PERJALANAN SUNYI