BANGKRUT

    “Hidup nahas bukan pilihanku. Dan tak ada manusia yang akan memilih hidup keparat macam ini.” Aku berseloroh lantang tengah malam, di pinggir jalan, yang jalannya lurus tetapi curam seperti nasibku.

    Usahaku untuk mencari nafkah beralih dari buruk ke bobrok. Tidak beruntung. Bangkrut, begitu mereka mengatakan tentangku. Akhir-akhir ini, orang-orang tak lagi banyak uang seperti sebelum-sebelumnya.

    Tidak hanya masalah uang, orang-orang tidak lagi memiliki gairah untuk hidup. Apalagi membeli dan membaca buku seperti yang kuandaiakan. Mungkin saja mereka kehilangan semuanya untuk sekadar hidup. Gampangnya, mereka tidak berminat untuk hidup seperti dalam pikiraku. 

    Ini zaman yang membuat orang-orang memilih gila daripada waras tetapi tak berguna dan kelaparan. Zaman dimana jualanku, buku-buku agama, tak pernah laku dalam se tahun. Buku agama bukan buku main-main. Satu pun tak ada yag laku. Padahal, katanya, mereka semua beragama dan jualan agama di mana-mana.

   Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, semenjak hidup sebatangkara, begantung dari penjualan buku di kios kecil ini. Kuanggap kios meski sejatinya bukan kios. Karena untuk jualan buku, aku tinggal menggelar terpal. Baru buku-buku agama kutata di atasnya.

    Jualan buku agama, menurut ibu dan nenekku, merupakan bisnis yang membawa keberuntungan yang berlipat-lipat. Satu, bisa mendapatkan uang dari buku agama yang laku; dua, bisa tetap dekat dengan agama; tiga, bisa mendapatkan berkah penulis dan buku itu sendiri. Karena agama itu memberkahi. Ini bukti kalau keluargaku orang yang beriman.

    Masih segar juga dalam ingatan, kata guru ngaji, menjual buku-buku agama sama dengan mendakwahkan agama, dan itu tugas mulya sekali. Untuk itu, bagian ketiga petuah nenek dan petuah guruku, tak pernah dibayangkan selain sebatas ingatan akan petuah leluhur. Tak lebih dari itu.

    Apakah aku beriman? Aku tidak tahu jika aku beriman. Karena iman, kata orang-orang, seperti ombak di laut lepas: pasang-surut. Halah, seharusnya aku tidak usah berpikir masalah iman beginian.

    Sekarang sudah hari terakhir untuk melunasi buku agama yang diambil dari penerbit, melunasi lapak di sekitar Malioboro, bahkan aku sudah mengutang untuk makan dalam dua minggu terakhir. Aku bayar lapak bukan pada siapa-siapa selain kepada preman setempat yang memiliki kawasan.

    Hingga akhirnya aku terusir karena tidak kuat lagi melunasi bayaran lapak. Ini hidup makin bergerak liar ke arahku.

    Beberapa bulan lalu, sebelum orang-orang memutuskan hidup dalam tempurung masing-masing aku mengambil buku dua kali lipat dari biasanya. Berharap pembelian meningkat tidak seperti delapan bulan sebelumnya.

    Orang-orang semakin aneh dan membingungkan. Sama sekali tak bisa ditebak jalan pikirannya. Menurut cerita kakek, di masanya, orang-orang sering berkumpul mendengar cerita-cerita agama oleh ustaz atau kiai yang dituakan. “Pasti cerita-cerita agama itu sumbernya dari buku agama yang kakek jual kan?” Iya. Tetapi tidak semua cerita dari buku-buku yang kakek jual. Sebagian pasti ada.

    Kenangan itu tiba-tiba melintas seperti seluit fajar yang kulihat dari tadi itu. Ini pukul tiga dini hari. Aku masih mengayuh imajinasiku ke batas-batas terdalam dari diriku.

    Nasib memang selalu lucu. Harapan kadang seperti tuak yang memabukkan. Sudah sekian bulan tidak ada pemasukan sama sekali. Hidup terkatung-katung di tengah kota yang semakin keras dan mencekik.

    Perutku sudah mengerti jika tuannya tidak ada uang untuk membeli sesuap nasi. Mungkin cacing-cacing kecil yang menunggu di dalam usus sedang demonstrasi. Pantes saja kadang merasa perih dan berbunyi seperti deru senapan gas air mata.

    Di tangah menahan perihnya lapar, wajah Rani tiba-tiba muncul. Rani yang pergi tujuh tahun yang lalu. Ia pergi dengan seribu alasan.

    Salah satunya karena aku hanya sebagai penjual buku agama. Masalah ini, sebelum benar-benar putus, kami berdebat lama. Kuceritakan wasiat nenek, Ibu, dan guru di desaku prihal penjual buku. Ia tetap menolak. Baginya penjual buku tidak lebih dari tukang becak yang mangkal di penggiran pasar.

    Bagi ia, laki-laki harus memiliki gaji tetap, entah menjadi pegawai negeri atau apa saja. Setidaknya jangan hanya menjadi penjual buku. Buku jika tidak ada pembacanya, tidak akan laku. Tentu akan membuat keluarganya kelaparan.

    Masih menurutnya. Sekarang, semakin sedikit orang-orang yang mau membaca buku agama. Alih-alih mau beli buku agama, buku-buku pengetahuan umum saja mereka enggan. Tidak salah banyak toko buku yang gulung tikar. Jika tidak gulung tikar, para penjual mencari cara untuk menurunkan harga buku-buku jualannya.

    “Berarti mereka tidak membeli karena harga bukunya mahal. Bukan berarti tidak penting.” Sergahku.

    “Tidak melulu soal itu. Meski itu salah satunya. Tetapi buku-buku tidak akan membahagiakan selain membuat murung. Bukankan begitu? Dan itu yang terjadi padamu. Selain itu, buku tidak menyediakan apa-apa selain informasi. Sekarang, orang kaya aku ini butuh sesuatu yang menghibur dan  menyenangkan.”

    “Aku murung bukan karena membaca banyak buku. Tetapi karenamu. Andai saja tidak ada buku yang menemaniku ketika kamu kencang dengan laki-laki lain, mungkin kamu sudah melihat batu nisanku.”

    “Kamu cemburu? Bukankah jauh-jauh hari telah kubilang jika aku dekat dengan banyak laki-laki agar aku bisa melangsungkan hidupku. Mereka tidak murah mengajakku. Aku selalu mematok harga mahal. Apalagi laki-laki yang di atas 30-an. Dengan begitu, setidaknya aku tidak selalu miskin sepertimu.”

    “Iya. Aku cemburu.”

    “Kalau begitu, kita putus saja. Bukanya orang tuaku juga menolakmu. Buat apalagi meneruskan hubungan ini.”

    “Bukan begitu yang aku maksud. Aku masih sayang sama kamu.”

    “Aku tahu. Aku juga sayang sama kamu. Tetapi ini hidup. Aku harus memilih masa depanku sendiri. Lagian telah banyak laki-laki yang keluar masuk dari dalam diriku yang paling inti. Karena aku juga sayang kamu, maka kita harus putus.”

    “Kenapa harus benar-benar putus?” tanyaku memastiakannya. Namun ia menunduk. Diam. Kemudian.

    “Oh ya…aku ada janji dengan orang yang memesanku. Jaga dirimu.”

    Ia pergi begitu saja. Tidak ada waktu bagiku untuk menjelaskan perasaanku yang sebenarnya. Di tanganku masih kujinjing sepuluh eksemplar buku agama. Karena sore itu, aku harus mengambil buku ke penerbit. Karena paginya, beberapa buku agama di lapak kecilku habis. Banyak pembeli yang Kembali tanpa mendapatkan buku yang dicarinya.

    Punggungnya makin mengecil di mata merahku. Pelan sekali aku duduk. Kutaruh buku di sebelahku. Kulihat Rani dari jauh. Ia adalah wanita satu-satunya. Kini pergi untuk selamanya. Air mata kadang hanyalah jalan buntu. Tetapi, tetap saja ia menetes perlahan dari mataku.

    “Pak, Pak, Pak…bangun. Kami mau buka kios kami.”

    “Ouh….”

    Sadar bahwa aku melamun. Di langit timur, matahari meninggi pelan-pelan. Jalan-jalan mulai ramai. Aku belum terlelap juga belum makan. Ternyata aku di depan kiosnya orang. Ia yang membangunkannku masih lengkap dengan pecinya.

    Kuangkat tubuhku perlahan. Pergi dari kios mukenah itu. Kutarik tasku yang berisi penuh buku-buku agama. Dalam hatiku, hari ini harus ada yang mau membeli buku agama yang ada di dalam tas. Jika tidak, aku akan kelaparan dan mati. Ini sudah hari kedua aku belum makan selain gorengan yang dikasih tukang sapu kemaren malam itu.

    Aku harus meyakinkan orang, bahwa buku agama sangat penting dibeli dan dibaca. Jika tidak, orang-orang yang memiliki banyak harta akan semakin lapar. Dan terus lapar. Jika begitu, sama saja dengaku yang memang pada dasarnya adalah miskin. Orang yang bangkrut dan lapar terus, itu adalah aku.

    Kuseret kakiku pelan-pelan. Kurogoh semua saku yang menempel di badanku. Berharap ada sisa uang meski hanya lima ribu rupiah. Hal semacam ini kulakukan tidak sekali, berkali-kali dalam sebulan ini. Memestikan bahwa memang tidak memiliki uang sama sekali.

    Lapakku sudah tidak ada lagi. Rumah di desaku disegel Bank karena hutang Ibuku. Keluargaku tinggal aku seorang. Semuanya telah pergi, mungkin jualan buku agama di surga.

    Kenyataannya kini, buku agama ternyata tidak laku. Aku tidur dari satu kios ke kios yang lain. Sesekali dimarahin orang. Sesekali nemu makanan di jalanan. Buku agama tetap di tasku. Masihkan ada yang membelinya?

    Aku tidak putus asa. Kulihat ada anak kecil yang bermain sendirian. Kudekati ia. Pagi itu matahari berbinar. Cahayanya menerabas batas-batas kota. Aku semakin deket dengan toko besar di Malioboro. Kulihat banyak wajah sedang mengantuk memadati jalan raya.

    Satu dua diantara mereka, masih ada yang menguap. Mungkin tidurnya kurang cukup. Atau mungkin tidak bisa tidur karena mimpi buruk. Halah, kenapa harus mikirin mereka. Seharusnya aku segera mendekati anak itu.

    "Adik sendirian di sini? Boleh aku bertanya? Apakah...," ia menggeleng sambil melihat andong, becak, dan mobil yang melintas bergantian.

    “Adik, mau mendengar cerita dari buku agama? Aku ceritain jika mau. Ceritanya banyak, sebanyak  buku-buku agama yang yang aku jual ini. Cerita agama, bukan cerita yang berbahaya. Menurutku, ini menarik dan penting untuk adik pelajari.” Jelasku.

    Ia menggeleng. Dalam batinku, semoga tidak terus-terusan menggeleng.

   “Di sini ada cerita nabi-nabi, tokoh-tokoh pemuka agama yang unik dan lucu.” Kulihat matanya yang mulau redup. Padahal aku berbicara meniru gaya seorang guru yang lucu dan menyenangkan. Namun sia-sia, sepertinya ia takut melihatku. Pelan-pelan anak laki setinggi pusarku itu mulai menarik kakinya menjauh dariku. Pelan sekali.

    Telah banyak tenaga yang kubuang untuk merayu anak itu. Setidaknya mau untuk mendengar cerita agama. Malah ia hanya diam saja. Dan terus diam. Berbeda ketika kakekku cerita perihal seorang sahabat yang ditakuti semua perajurit, aku riang dan selalu menyela untuk bertanya ini dan itu.

    Kakekku senang karena aku aktif bertanya. Rupanya aku melamun lagi. Kakekku selalu datang dan memunuhi kepalaku. Jika bukan Rani, wanita yang anggun dan cantik itu, dipastikan dalam benakku adalah kakekku. Penjual buku agama yang sukses karena mengantarkannya ke Mekah.

    Ingat kakek, senyumku mengembang seperti aroma bunga pagi. Ingat Rani, seluruh tubuhku lemes dan bergetar karena pendapatnya pedas dan pergi begitu saja. Semua kata-kata Rani utuh dan selalu berurai di kapalaku. Mungkin tidak akan hilang sampai aku mati kelaparan. Bisa saja juga menyangkut di kepala kalian.

    Lapar kadang membuat selalu berhayal dan murung. Aku gagal meyakinkan anak itu. Aku tetap tidak punya uang. Laiknya musafir, pelan dan pasti aku melangkah pergi.

    Padahal aku berharap ia tertarik membeli buku agama yang ada di dalam tasku. Setidaknya buku ini ada yang membacanya. Karena ia masih kecil, harapanku agar ia tidak belajar agama di Google. Setidaknya jelas di buku apa ia memahami atau belajar agama.

    “Deski…Deski…deski…kamu dimana?” kudengar suara ibu-ibu sedang memanggil nama dari belakangku. “Kamu di sini rupanya. Dari tadi aku mencarimu ke dalam pasar. Malah ada di sini. Ayo pulang. Papamu sudang menunggu di parkiran."

    Tanpa menoleh kepadaku. Ia menarik tangan anak laki-lakinya. Hatiku menciut. Harapanku untuk makan semakin tipis dan tipis. Padahal, aku berusaha dengan sisa daya untuk meyakinkan anak itu. Setidaknya untuk mendengar prihal agama.

    Lapar mendesakku. Kerongkongan kering sekali. Aku masih bisa berjalan ke arah kerumunan itu. Bisikku pada diri sendiri. 

    Sebelum benar-benar sampai ke kerumunan. Burung gagak menyerang kepalaku. Sayap hitamnya menyambar pelipis. Sekali, dua kali, aku limbung. Dalam setengah sadar, aku bertanya, apakah benar-benar burung gagak. Atau jangan-jangan itu malaikat yang menjelma burung. Malaikat maut.

 

2020

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIFAT BAIK DAUN YANG DIABAIKAN

DIDAKTIK DALAM SYAIR KLASIK

PERJALANAN SUNYI