POSITIVISME SASTRA EKSIL


Tahun 1965-1966 adalah titik tumpu peluru politik yang meresonansi buku-buku sejarah Indonesia. Kekuatan dua ideologi politik yang saling bertubruk kemudian meledak dan dikenal G 30 S, menewaskan banyak orang, mengasingkan banyak orang—ke dalam penjara atau ke luar negara—dan mengkeruhkan suasana kehidupan berpolitik, beragama, dan berbudaya sekalipun. Suasana mencekam menjadi titik balik terhadap istilah kebudayaan yang dikenal sastra eksil atau sastra rantau.
Sastra eksil ialah sastra yang ditulis oleh orang-orang Indonesia yang terbuang secara sosiologis dan geografis. Kerena ketidaksepahaman ideologi politik, mereka was-was untuk meneruskan hidup di tanah air sendiri. Takut dipenjara dengan berbagai siksa atau bahkan dibunuh secara seporadis menjadi alasan mereka minggat dan memilih menetap di Eropa bagian barat, khususnya Belanda. Kejadian itu telah berlalu dan menjadi catatan penting bagi masa depan bangsa ini.
Mereka, para sastrawan yang menetap di luar negara Indonesia, karya sastranya adalah anak kandung kebudayaan Indonesia sendiri. Secara lahir dan batin keterikatan masih terus mengalir di dalam diri dan karya-karyanya.
Secara sosiogis pengalaman hidup para sastrawan eksil lebih menguntungkan dari satu sisi dan tidak pada sisi yang lain. Ancaman yang memutuskan mereka untuk hidup di negara asing seperti panggilan observasi, eksprimentasi dan komparasi terhadap elemin kehidupan di luar dirinya. Tantangannya hidup tentulah berbeda bahkan bisa saja lebih menyengsarakannya. Hal inilah yang menjadi nilai tawar mereka, meski pada sisi yang lainnya mereka harus menanggung perih keterasingan.
Menarik, misalnya, ketika sastrawan eksil memposisikan diri menjadi dua corong ajaran Augusti Comte (1798-1857) dalam memperbaiki masyarakat. Maka sekaligus menjadi jawaban terhadap pertanyaan peranan sastra dalam masyarakat sekarang. Sebab Comte membagi dua ajarannya, yaitu statika sosial dan dinamika sosial. Statika sosial merupakan semua unsur struktural yang melandasi orde, tata tertib, dan kestabilan masyarakat. Tentu di dalamnya adalah sistem perundangan, struktur organisasi dan nilai-nilai. Oleh struktur organisasilah, sebut saja karena dianggap komunis, para sastrawan eksil—saat ini—harus rela keluar dari kotak kehidupannya.
Juga adalah menjadi konvensi bersama yang disandarkan pada dua poin penting sebagai cikal bakal lahirnya masyarakat, yaitu individu dan keluarga. Dari individu yang memiliki kecenderungan hidup bersama maka menjadi keluarga yang membentuk masyarakat dengan berbagai kelompok-kelompok seperti suku, klan, organisasi, partai dan keyakinan sekalipun.
Corong kedua ajaran Comte adalah dinamika sosial, yang diyakini sebagai proses perubahan sosial. Sebab gerak sejarah pada setiap masa evolusi mendorong menusia ke arah yang lebih maju sesuai dengan masanya. Maka dinamika sosial mendorong sastrawan eksil untuk menjadi individu-keluarga dan masyarakat yang tidak hidup di dalam tanah airnya sendiri. Hal ini menjadi bukti bahwa sastrawan eksil adalah korban dari perubahan yang tidak didasari oleh ketertiban itu sendiri.
Bukankah tahun 65 sudah berlalu. Semua itu telah menjadi catatan kusam dalam sejarah Indonesia. Bukankah Indonesia telah berulang tahun puluhan kali, tentu saat ini dan seterusnya tak lagi soal masalah perbedaan. Bahkan kesadaran untuk belajar dari perbedaan mulai tumbuh dan berkembang. Tak akan ada lagi komunis, tak ada lagi kiri atau kanan dalam menyongsong kemajuan kesusastraan Indonesia. Tak kan! Selain saling menghargai, menambahi dan mengurangi dengan terbuka akan kesusastraan Indonesia.
Setelah menjadi istilah ‘sastra eksil’ maka menuntut dimaknai dan dibuktikan keberadaannya. Kemudian terbit antologi puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, yang memuat puisi-puisi dari lima belas penyair yang tinggal di luar Indonesia. Namun apakah antologi itu menjadi representasi keberadaan sastra eksil? Ataukah hanya menjadi sirene akan cerita kelam yang hendak dipersoalkan lagi?
Untuk menjawab kedua pertanyaan kunci, keberadaan sastrwan yang hidup di luar Indonesia harus ikut berkontribusi terhadap kesusastraan Indonesia. Bukankah eksprimen individu untuk bertahan hidup lebih terjal dari penyair—bukan maksud menyepelekan—yang ada dalam tanah air. Mereka sastrawan eksil pasti akan dibenturkan oleh hal-hal yang berbeda dan itu bisa saja lebih manarik dari yang ada di dalam kesusastraan Indonesia. Inilah yang saya maksud sebagai nilai tawar yang dapat mewarnai hazanah kesusastraan kita.
Mereka pun akan dengan mudah mengkomparasikan kesusastraan yang ada di dalam tanah air dengan kesusastraan tempat mereka menjadi individu, kemudian menjadi keluarga, kemudian menjadi masyarakat dan menjadi bagian dari warga negara lain. Tentu saja komparasi seorang sastrawan adalah dengan karya-karya barunya. Karya-karya yang dieksplorasi dari dua imajinasi geografis tanah asal mereka lahir dengan tanah baru mereka menjalani hidup. Sebab hanya dengan proses interpretasi terhadap komparasi inilah hazanah kesusastraan tidak lagi hanya berdiri di tempat.
Lebih-lebih didukung dengan posisi hidup yang diluar Indonesia, tentu para sastrawan eksil lebih leluasa melihat Indonesia. Jika diibaratkan, bila hendak melihat atap rumah sendiri yang bocor, tentu harus keluar rumah. Karena tak ada masalah sastra yang bocor atau masalah sastra yang perlu ditambal, sejatinya tugas sastrwan eksil adalah ikut berperan dalam kesusastraan Indonesia.

2015







Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIFAT BAIK DAUN YANG DIABAIKAN

Berburu Gerimis di Kota Tua

DIDAKTIK DALAM SYAIR KLASIK