PRODUKTIVITAS PENGARANG DALAM ROTASI ZAMAN
Esai Khairul Mufid
yang berjudul, Spionase Ketahanan Pengarang, pada Minggu Pagi, 1 Juni 2015,
menggelitikku. Setelah membacanya, saya membayangkan raut wajah penulis roman Siti
Nurbaya, Marah Rusli, penulis Salah Asuhan, Abdul Muis dan penulis Belenggu
Armijn Pane. Lamat-lamat wajahnya timbul tenggelam dalam bayangan, seperti
pesan masuk di alat komunikasi canggih samartphone; abad ini.
Saya sepakat
bahwa jenuh seperti raksasa—dalam negeri dongeng—yang mengejar manusia. Namun
usia tidak menjadi alasan sepenuhnya bahwa penulis yang telah uzur tidak
produktif lagi. Apalagi menjadi apologi seperti sentilan Jakob Sumardjo yang
dianggap mutlak oleh Mufid dalam esainya, Sastra Indonesia Modern, Sastra
Pubertas. Yaitu penulis sastra yang hanya produktif di usia 17-26 dan
mengasing setelah usia 30-40 atau pansiun dari jagat kesusastraan.
Kalau saya
memahami, sentilan Jakob merupakan harapan akan adanya kajian lebih jauh proses
kreatif dari masa ke masa. Bukan tidak produktifnya sastrawan setelah usia
30-40 adalah realitas mutlak yang perlu diamini-melainkan diinsafi. Diferensiasi
tuntutanlah yang membedakan kerja produktifitasnya.
Dan kita harus
ingat, jarak anatara tahun 1910—lahir, dan sibuknya mengarang seperti Marah
Rusli, Abdul Muis dan Armijn Pane—1921-1928, masa Chairil Anwar, Asrul Sani dan
Rivai Apin, hingga 1935, masa A.A. Navis, Ajip Rosidi dan Subagio Sastrowardoyo
merupakan rentan waktu yang perlu dikaji: latar belakang hingga capaian dari
proses kreatif mereka.
Bukankah dari
setiap detik jarum jam yang jatuh akan ada yang bercerai—sebagai realitas ada—dan
akan ada yang datang juga sebagi relaitas ada. Ingat bahwa pada tahun, 1511, Portugis
merebut pusat perdagangan di kota Malaka. Namun yang terebut tidak hanya saol
perdagangan melainkan martabat kesusastraan, seperti Hikayat Mohammad
Hanifiyah dan Hikayat Amir Hamzah yang semula menjadi bukti
kegemilangan Raja Mudhafar Sjah. Selebihnya kolonialisme telah ditebar ke saentaro
Indonesia.
Sejarah
panjang penjarahan eropa sangat mempengaruhi pola kehidupan sastrwan-satrawan, hingga
detik ini pula. Arjun Appadurai, mengingatkan kita bahwa di era globalisasi
imajinasi dan fantasi manusia akan bertambah—memungkinkan manusia untuk
memikirkan kemungkinan hidup yang lain—dan berubah menolak. Perubahan itu
terjadi karena pribadi manusia diproses dimana imajinasi dan dan fantasinya tak
lagi di tempat ia berada melainkan di media.
Hal ini
terbukti dengan romannya Marah Rusli, Siti Nurbaya, yang mencoba mengulas
adat perkawinan yang mencengkeram kehidupan cinta pemuda pada masanya. Jatuhnya
Siti Nurbaya ke tangan Datuk Maringgih adalah kesakitan Samsulbahri, karena Siti
Nurbaya menjadi tumbal dari ketimpangan sosial. Hingga Baginda Sulaiman menjadikan
Siti Nurbaya sebagai bayaran hutang kepada Datuk Maringgih.
Bahkan dalam
salah Asuhan-nya Abdul Muis, digambarkan sosok Hanafi yang silau
mata hatinya terhadap kebudayaan barat. Perkawinan Hanafi dengan Rapiah berujung
cerai setelah memiliki seorang anak, Sjafei. Juga pernikahannya dengan
perempuan Belanda, Corrie yang juga berujung cerai karena alasan adat dan
martabat bangsa barat (Belanda) dan timur (Indonesia), Minangkabau khususnya.
Semua itu
menjadi bukti konkrit hingga saat ini. Betapa sangat berpengaruhnya tututan
zaman terhadap pengarang. Misal, pada masa Chairil Anwar adalah masa perjuangan
untuk melawan kolonialisme itu sendiri. hingga tak salah puisi-puisi yang lahir
dari tangannya adalah puisi-puisi perjuangan yang bergelora. Seperti ‘AKU’ yang
sampai saat ini bila dibaca akan terasa emosi perjuangannya.
Setelah kemerdekaan,
1945, sastrawan tak akan lagi menulis perihal perjuangan. Melainkan mereka akan
menulis kehidupan yang membentang di depan matanya. Sehingga lahirlah Subagio
Sastrowardoyo dengan puisi-puisinya yang eksistensialis, W.S. Rendra yang
pamfletis dengan puisi yang keritis mengenai politik Indonesia.
Lalu masih
adakah anggapan sastra pubertas. Masihkah kita menganggap bahwa pengarang yang
sudah berusia 30-40 tidak produktif lagi. Maka berarti kita menafikan rotasi
yang waktu yang menyelundupkan banyak imajinasi dan fantasi kepada penulis
modern kini. Khairul Mufid mungkin lupa, bahwa tantangan pengarang saat ini
adalah keteguhan menguploud puisi di facebook, blog dan lebih-lebih media cetak
seperti koran.
Pengarang
sekarang yang istiqomah menulis di koran, di facebook, blog dan lain-lain
adalah pengarang abad modern. Yang tak akan lagi menulis perihal adat-istiadat
dan perjuangan melainkan percintaan yang sentimental, atau pergulatan hidup
yang tak pernah selesai karena terjajah oleh kolonialisme berwajah digital:
teknologi.
Lahirnya
penyair muda, yang masih berumur 17-26 adalah kewajaran yang diampuni. Sebab
realitas ini adalah perodak masa yang tidak bisa ditolak keberadaannya. Namun
apakah karya-karya mereka akan terus hidup di masa yang akan datang, saya dan Mufid
tak akan pernah tahu akan hal itu. Masa depan seperti sekumpulan bayang-bayang,
saya dan tentu juga Mufid tak akan bisa menembusnya.
Karena makna
produktifitas akan dinamis, jika dimaknai dengan rotasi masa. Maka secara
substansi hidup dan peranan pengarang juga akan berbeda. Pengarang modern telah
banyak menghambakan dirinya menjadi pendidik, pendorong dan penggerak di balik
layar kesusastraan. Seperti Sutardji Calzum Bahri, beliau menjadi bagian
penting di majalah Sastra Hirison dan Indopos. Dan baru-baru ini, Sapardi Djoko
Damono masih menerbitkan antologi cerpennya yang berjudul, Trilogi Soekram.
Apakah masih
relevan anggapan Khairul Mufid tentang sentilan Jakob Sumardjo yang dimaknai
pasif. Tentu tidak, sebab regulasi waktu yang terus bergerak tak bisa dimaknai
stagnan, dan waktu selalu melahirkan anak jamannya. Sebab pengarang tak akan
pernah diam dalam segala jenis kegiatan—kreatif, inovatif, dan kritis—adalah
kutukan waktu yang akan terus menuntutnya. Salam.
Komentar
Posting Komentar