Berburu Gerimis di Kota Tua
Judul
: Gerimis di Atas Kertas
Penulis
: A. S. Rosyid
Penerbit
: basabasi
Cetakan
: September 2017
Tebal
: 200 hlm; 14 x 20 cm
ISBN
: 978-602-6651-30-3
Membaca Gerimis di Atas Kertas, karya A.S. Rosyid ini, saya diajak mengenal
Lombok yang sekarang. Bukan lombok abad ke-14 ketika kerajaan Selaparang
digagas oleh Raden Maspahit. Atau Lombok abad ke-16 ketika tumbuh banyak
kerajaan di bawah kendali Selaparang, diantaranya Sokong, Bayan, Pejanggik,
Langko, Suradadi, dan Parwa.
Apa lagi Lombok yang menurut banyak
sejarah mengalami kesakitan berabad-abad di masa lalu. Misalnya, Lombok ketika
tahun tragedi bangsa ini, yakni 31 Desember 1965, dimana terjadi konflik antara
suku Sasak dan suku China dengan sentimin PKI. Atau Lombok era reformasi yang
mengalami gejolak sosial karena konflik suku dan agama, tepatnya 17 Januari
2000 itu. Bukan! Tapi, Gerimis di Atas
Kertas adalah wajah Lombok yang sekarang.
Karena itu, saya tidak membayangkan
Lombok dengan sebutan Gumi Selaparang,
atau dengan sebutan yang lebih terkenal, yaitu Pulau Seribu Masjid, karena masyarakatnya mayoritas Islam. Tak
ayal, dengan antusiasme tinggi mereka membangun masjid yang tidak kurang dari
300 masjid. Saya tidak terbayang dengan semua itu!
Tetapi, saya terbayang-bayang dengan
ungkapan S. Hall dalam bukunya Cultural
Identity and Diaspora (1990). Bagi dia, identitas sebagai “sesuatu yang
tidak pernah sempurna”, selalu dalam proses, karena Lombok (Sasak) bukan suatu
entitas yang final—seperti di masa lalu—melainkan selalu statis, yang tumbuh
dan terus berkembang hingga sekarang.
Sebab itulah saya tegaskan, inilah
identitas etnis yang baru bagi Lombok (Sasak). Pasalnya, meminjam pernyataan
T.H. Eriksen dalam bukunya What is
Anthropology (2004), identitas merupakan suatu esensi yang dapat dimaknai
melalui tanda, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Demikian, identitas bersifat
personal sekaligus sosial dalam waktu yang bersamaan. Sejatinya identitas,
bukan sesutu yang sui generis,
melainkan selalu berubah dan diubah bila terkait dengan sosial budaya dan
kepentingan.
Itulah, novel Gerimis di Atas Kertas, mengajak saya mengenal Lombok pasca Orde
Baru yang sentralistik, dengan diberlakukannya Undang-Undang No 34 Tahun 2003
tentang otonomi daerah. Benar, di sinilah saya menemukan momentumnya. Artinya, Gerimis di Atas Kertas lahir tidak bebas
nilai dan tentu ada kepentingan bagi A.S Rosyid untuk masa depan Lombok di masa
yang akan datang.
Perlu
diingat, berlakunya undang-undang di atas, menyebabkan banyak kelompok etnis
Indonesia, termasuk suku Sasak (Lombok) mengembangkan kesadaran dan solidaritas
etnis untuk merebut dominasi suku bangsa asing di bidang politik, ekonomi, dan
budaya.
Tiga Penanda
Sekurang-kurangnya, ada tiga penanda
yang dapat menuntun saya untuk memahami identitas Lombok sekarang. Yaitu,
adanya komunitas rumah baca, pemuda dan kisah cintanya, dan tentang dunia yang
terus bergerak di sana.
A.S. Rosyid, pelan tapi pasti—terlepas apakah novel ini fiktif—menyingkap realitas Lombok yang sekarang: realitas kemiskinan yang menghambat generasi muda untuk melanjutkan pendidikan; tentang minimnya pelatihan kewirausahaan, kemandirian, dan bahkan minusnya kepekaan sosial di daerah (Lombok) yang kaya akan segalanya.
A.S. Rosyid, pelan tapi pasti—terlepas apakah novel ini fiktif—menyingkap realitas Lombok yang sekarang: realitas kemiskinan yang menghambat generasi muda untuk melanjutkan pendidikan; tentang minimnya pelatihan kewirausahaan, kemandirian, dan bahkan minusnya kepekaan sosial di daerah (Lombok) yang kaya akan segalanya.
Saya kisahkan, bagian pertama yang diberi judul
Mununggu Ayu. A.S Rosyid menbuat
tokoh yang bernama Sahril, anak yang sejak kelas tiga SD harus menanggung
tanggungjawab besar—melindungi, mencukupi, dan merawat adiknya yang ditinggal
pergi Ibu dan Bapaknya sejak bayi. Adalah menjadi kuli pengangkut pasir dengan
ongkos tujuh ribu rupiah.
Jangan salah, tersingkapnya hidup keras yang
dialami Sahril daripada teman-temannya yang lain ialah ketika ia ada dan aktif
di komunitas rumah baca. Dalam kisah ini, ada bumbu cinta aku-Hasyim-pencerita
dengan Ayu, dengan Royyan (sesama pengajar di rumah baca) yang jatuh cinta
dengan si pencerita. Dan akhirnya, Hasyim menikah dengan Ayu setelah melewati
penantian yang panjang.
Sungguh, saya takut membayangkan, ketika
membaca Gerimis di Atas Kertas ini,
akan tradisi Lombok yang kental dan sakral itu. Misalnya, tradisi Bretes (selamatan tujuh bulanan bagi
perempuan yang hamil), Praq Api
(acara cukuran, aqiqah, dan pemberian nama bagi bayi yang telah lahir), Lempot Umbaq (penenunan kain sebagai
alat gendong ketika bayi lahir), hingga tradisi Besunat (sunatan).
Atau tradisi menikah yang fenomenal dan dikenal
dengan Marariq itu. Tentu dengan
tahapan-tahapan yang juga sakral, seperti Midang
(proses pendekatan yang dilakukan laki-laki ke rumah perempuan), Nyongkol (arak-arakan pengantin menuju
mempelai wanita), Marariq dan
seterusnya. Tidak! Saya tidak menyoal itu di dalam Gerimis di Atas Kertas ini. Karena saya tidak menemukan itu selain
kisah cinta yang biasa-biasa saja.
Sampai di sini, saya beranggapan—atau mungkin
terlalu banyak berharap—bahwa dalam novel inilah kita akan mengenal Lombok yang
baru. Saya juga tidak mau curiga, apakah semua tradisi itu sudah mulai
ditinggalkan oleh generasinya. Atau tetap eksis. Entahlah!
Selanjutnya, bagian kisah yang berjudul Gerimis di Atas Kertas, kemudian menjadi
judul buku ini, adalah kisah yang hampir sama, dengan gaya bercerita yang sama.
Tentu, ada sedikit keterkaitan dengan cerita yang pertama.
Dalam kisah ini, ada komunitas sosial yang bernama Komunitas
Fajar, kisah cinta antara aku-pencerita dengan Fajar, antara Fajar dengan
mantan kekasihnya yang meninggal-bernama Ulya. Juga ada sosok Fatimah yang
hampir sama nasibnya dengan Sahril. Fatimah anak muda yang sepantasnya masih sekolah,
sayang ia tidak mampu. Hanya saja ia ikut sekolah bisnis di Komunitas Fajar.
Akhirnya aku-pencerita menikah dengan fajar.
Lain halnya dengan kisah bagian terakhir,
dengan judul Cakwe Kota Tua. Pada
bagian ini, tidak ada keterkaitan dengan dua kisah di atas. Dengan gaya bercerita
yang beda, yaitu, dengan sudut pandang ketiga dia-pencerita.
Maka dikenalkanlah tokoh utama bernama Bayu.
Mantan wartawan foto majalan internasional. Kemudian dibuat berdacak kagum pada
kota tua Ampenan, makanan Cakwe, dan kemudian jatuh cinta dengan si penjual
Cakwe yang bernama Sastri. Menikah, beranak, dan menetap di sana.
Menuju Kepentingan
Saya tidak menafikan, di bagian kisah Menunggu Ayu, ada sekelumit gejolak di
Era Reformasi 1998. Yaitu, diusirnya beberapa pendatang yang ada di Lombok (Sasak).
Begitu juga dalam bagian kisah Cakwe Kota
Tua, adalah penjelasan sejarah Ampenan, keberadaan suku Arab, China, Bugis,
Banjar, dan Melayu. Sayangnya, A.S Rsyid hanya mengupas bagian permukaannya.
Tetapi, masalah dalam dan tidaknya hal di atas,
saya tetap mengafirmasi bahwa ini novel yang baik. Artinya, saya dapat mengerti
identitas etnis Lombok (Sasak) yang sekarang. Inilah yang menurut Bourdieu
(1977), A.S Rosyid atau “subjek” sangat dominan dalam proses konstruksi budaya
di Lombok.
Begitulah, dalam hal konstruksi budaya, dapat
diandaikan peranan individu atau kelompok dalam memperebutkan modal yang selalu
tarik menarik antar satu kekuatan dengan kekuatan lain. Pasalnya, upaya-upaya
tersebut dipasung kepentingan yang berskala panjang.
Akhirnya, saya hanya bisa mengandaikan, dengan
adanya taman baca, kisah cinta dan pernikahan yang berbeda dengan Marariq, generasi muda yang mulai peduli
dengan pendidikan, dan Kota Tua Ampenan, bahwa Lombok (sasak) di masa yang akan
datang adalah upaya yang disebut kesadaran identitas diri. Tentu dengan
solidaritas mereka.
Selebihnya, novel ini akan membuat sedih
seorang pemuda atau remaja yang kisah cintanya hampir sama dengan dirinya. Tapi
tidak dengan kisah cintaku. Artinya, saya tidak akan membayangkan apa pun lagi,
seandainya akan, atau sedang, bahkan ketika sudah membaca novel yang berjudul Gerimis di Atas Kertas ini. Jika saya
tetap ‘membayangkan’ maka sama halnya dengan berburu gerimis di kota tua.
Mantaaaap...lanjutkan bung.
BalasHapus