ALKUDUS DAN TUHAN YANG TAK PERLU DIBELA


Judul               : Alkudus
Penulis             : Asef Saeful Anwar
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : April 2017
Tebal               : 268 hlm; 14x20 cm
ISBN               : 978-602-61160-0-0

“Burung-burung tidak terbang dengan sayapnya mereka, melainkan terbang dengan kekuatan hasrat mereka. Ikan tidak berenang dengan tubuh mereka, melainkan berenang dengan kekuatan hasrat mereka. Dan ketika orang mempunyai hasrat untuk berenang, ia akan berenang seperti se ekor ikan,” begitulah aforisma Hazrat Inayat Khan dalam Dimensi Mistik Musik dan Bunyi (2002). “Kekuatan hasrat” dari Hazrat ini sedikit banyak akan menjadi resonansi dalam membaca novel Alkudus karya Asef Saeful Anwar.
Dengan berhasrat Asef Saeful Anwar meredefinisi, atau bahkan merejuvinasi agama yang akhir-akhir ini tak ubahnya misil bagi kehidupan manusia. Alkudus seolah novel, seolah kitab yang dibubuhkan ajaran penting dan patut dipertimbangkan. Atau hanya sebatas lelucon, kegilaan, atau benar-benar kebenaran yang digariskan Tuhan bagi umat manusia melalui Asef Saeful Anwar agar manusia bisa berdamai dengan agama.
Bagaimana seharusnya memahami Alkudus sebagai novel? Jika saya tegaskan bukan sebagai kitab dari agama baru yang bernama Kaib.
 Sejauh ini, saya masih terngiang dengan ramalan Rene Girard—dikutib dari buku Kambing Hitam, Shindunata, 2007—bahwa “akan datang saatnya, di mana agama tidak lagi mampu meredam kekerasan.” Kini ramalan itu seolah realitas yang sedang gegap gempita di hadapan kita. Akankah Alkudus, jika sebagai kitab suci dari Agama Kaib, akankah bernasib sama dengan agama lain yang tidak lagi sebagai solusi, melainkan sebagai pemecah belah, dan mengantarkan manusia ke dalam jurang krisis kekerasan. Entahlah!
Akhirnya, saya putuskan Alkudus sebagai karya sastra yang berujud novel. Meskipun di dalamnya memuat ajaran-ajaran yang kompleks tentang keimanan, cara berdoa, cara menyembelih hewan kurban, kemanusiaan, kematian, dan bahkan kehidupan setelah kematian layaknya Alquran dan Alkitab.
Rene Girard dalam bukunya Deceit, Desire, and the Novel (1965), selalu mengandaikan bahwa realitas manusia selalu “dapat dimengerti,” seperti saya mengandaikan Asep Saeful Anwar dan Alkudusnnya. Meminjam teori hasrat segitiga Rene Girard, pengandaian saya pada Asep dan Alkudus nyaris—tidak benar-benar—final, bahwa kekuatan hasrat bisa menyulap manusia menjadi Tuhan dalam sekejap, atau apa saja.
Pola hasrat segitiga berpijak pada pada tiga gagasan penting: mimesis, kambing hitam dan interpretasi. Mimesis selalu diawali oleh hasrat untuk meniru. Seperti Asep Saeful Anwar (subjek) tidak benar-benar menghasrati formalisme agama (objek), melainkan menghasrati apa yang dihasrati Tuhan (mediator) terhadap objek. Dengan meniru Tuhan (mediator), Asep ingin memberi pelajaran kepada pembaca.
Tergambar dengan jelas di awal kitab Alkudus, firman Tuhan yang terakhir diturunkan kepada Nabi Erelah dan dicatat oleh Bakijah pemeluk pertama Agama Kaib, yaitu firman yang ke-6993, di sana terlukis kekhawatiran dan kegetiran yang sekarang benar-benar terjadi bagi keberagamaan manusia. Saya kutipkan:
“Sungguh yang paling aku khawatirkan setelah aku meninggal dunia adalah umatku mencintaiku secara berlebihan hingga melupakan-Mu. Barangkali ini kekhawatiran nenek moyangku (Yahmur) yang mengaliri darahku. Aku tidak boleh dikultuskan. Aku hanyalah perantara-Mu, menyampaikan apa yang turun kepadaku untuk seluruh alam semesta.” (hlm. 12).
Realitas truth claim dalam keberagamaan merupakan salah satu dari episentrum formalisme agama (objek) yang menggurita sekarang. Formalisme agama sebagai (objek) menjadi penting karena adanya proses dialektis antara Asep (subjek) dan Tuhan (mediator). Proses dialektis tersebut, bisa saja karena Asep melihat beberapa konflik agama, dan Tuhan dengan agama-agamanya yang pernah ada, “mungkin” tidak dapat menyelesaikannya.
 Maka Tuhan sebagai mediator dijadikan model oleh Asep dalam menulis Alkudus. meskipun memungkinkan hal lain, yakni Tuhan akan menjadi rival bagi Asep jika menghalangi proses imitasinya. Sayangnya, kemungkinan itu tidak saya temukan dalam Alkudus, selain Asep benar-benar meniru atau menyerupai Tuhan agar dapat berbicara banyak masalah agama.
Seperti aksi barbarisme yang mengatasnamakan kebenaran agamanya dengan menyakiti pemeluk agama lain. Dari Alqaida, ISIS, FPI hingga HTI atau ormas-ormas lain yang senada dengan kekhawatiran Nabi Erelah. Maka dengan meniru Tuhan, Asep menegur manusia dengan halus melalui Alkudus, tedapat di bagian 4. Permulaan, ayat ke-75, yang berbunyi “...berhati-hatilah sebab kebutaan seringkali diakui sebagai keimanan...” (hlm. 36)
Dengan demikian, Asep mencoba sepenuhnya menjadi Tuhan, menegur dengan halus, dengan perumpamaan-perumpamaan, dengan seruan atas berbagai masalah agama di sekitarnya dan menghantui dirinya. Meskipun, saya tegaskan, bahwa disinilah Asep mengorbankan (mengambinghitamkan) kebenaran kisah dalam salah satu kitab agama samawi, bisa saja dalam Alquran. Pengambinghitaman itu, menurut hemat saya, semata upaya Asep untuk merejuvinasi nilai-nilai moral yang suram bahkan pupus.
Seperti di bagian 5. Manat dan Ianat, ayat ke-88-92, dikisahkan bahwa Ianat (anak kedua) yang mencekik Manat (anak pertama) hingga wafat. Berbeda dengan kisah di dalam Alquran, terdapat dalam surat Al-Ma’idah, ayat ke-27-31, bahwa Qabil (anak pertama) yang membunuh Habil (anak kedua). Atau mengenai bahan penciptaan Dama dan Waha dalam Alkudus, di bagian 4. Permulaan, ayat ke-20 dan ke-52 yang bersebrangan dengan Alkitab, Perjanjian Baru, 1 Korintus 15:47. Banyak lainya yang sengaja “Tuhan” Asep ubah untuk menyampaiankan pesan moral yang sesuai—bukan berarti Alquran dan Alkitab tida sesuai—dengan realitas sekarang.
Sampai di sini, Alkudus meruapakan novel yang sangat menarik dengan gaya aforisma sebagaimana Alquran dan Alkitab. Layaknya kitab suci agama, kompleksitas masalah yang disorot, kemudian disegarkan dengan sejarah dan ajaran yang sesuai dengan agama Kaib. Meskipun, upaya-upaya Asep dalam Alkudus, tidak lebih dari redefinisi dan rejuvinasi dari kisah-kisah dan ajaran di dalam salah satu kitab samawi.
Perlukah Asep melakukan apologia setelah mengubah kisah-kisah dalam agama yang sebenarnya—sebagaimana Rene Girard lakukan setelah 26 tahun agnostik—bagi saya, hal itu hanyalah pekerjaan sia-sia. Diakui atau tidak, Alkudus tidak lebih dari sebuah interpretasi Asep atas realitas keberagamaan umat manusia. Meski dengan mengimitasi Tuhan, mengambinghitamkan kisah-kisah dalam kitab suci, itulah tugas wajar pengarang dalam mengolah dan memaknai ulang kenyataan. Tentu, hal itu sah-sah saja, toh Tuhan tidak pernah minta dibela.
 Kitab suci tetap sebagai kitab suci, seperti yang mereka yakini, sedangkan Alkudus adalah novel yang mengultuskan diri menjadi kitab suci.
Setidaknya, interpretasi Asep merupakan underline bagi keberagamaan yang terperosok ke dalam pemahaman bentuk (form) belaka. Mereka yang hibuk melakoni ritual dan menjalankan aturan tanpa reinterpretasi yang sesuai dengan realitas sekarang. Jangan salah, mereka akan kerap menjadi fanatik, radikal, dan intoleran kepada yang lainnya. Sungguh, mereka seolah paling benar, maka Asep menegur pula, dalam bagian 4 Permulaan, ayat ke-158: “...sesungguhnya amat sedikit dari manusia yang berebut mengaku salah dari pada yang menyebut dirinya sebagai yang paling benar...” (hlm. 41).
Akhirnya, seperti dalam bagian 1. Ladang dan Biji, ayat 1-5, bahwa “Imanmu adalah ladang. Kebaikanmu adalah biji. Doamu adalah hujan. Usahamu adalah cahaya. Kebahagiaanmu adalah buahnya.” (hlm. 12). Sebagai ayat yang seharusnya direnungi oleh siapapun, yang percaya agama—atau pun tidak—apapun jenisnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIFAT BAIK DAUN YANG DIABAIKAN

Berburu Gerimis di Kota Tua

DIDAKTIK DALAM SYAIR KLASIK