USAHA JOSÉ SARAMAGO MENGALAHKAN TUHAN
Judul
: Kain
Penulis
: José Saramago
Penerjemah
: An Ismanto
Penerbit
: Basabasi
Cetakan
: Desember 2017
Tebal
: 192 hlm, 14 x 20 cm
ISBN : 978-602-6651-57-0
José Saramago bagi saya, meminjam salah
satu pernyataan Eva Hoffman—Hirsch, 2012—sebagai the hange generation atau the
guardianship of the holocaust. Dengan artian, sebagai generasi selanjutnya
yang tidak mengalami kekejaman Tuhan secara langsung terhadap manusia di masa lalu.
Namun, ia dapat menuliskan pengelaman
kelam tersebut seolah pengalamannya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, ia menggali
kisah “kekejaman” Tuhan kepada nabi-nabi, kepada kaum atau suku yang pernah
dimusnahkan, hingga pada realitas sentimentil, seperti seks, dari dalam Alkitab,
khususnya Perjanjian Lama (old statement).
Dari novel pertamanya yang berjudul A Gospel According to Jesus Christ
(1991), yang menceritakan kehidupan Yesus, jauh bersebrangan dengan ajaran
Katolik Roma. Ini menjadi salah satu bukti bahwa ia mengadaptasi kisah atau
ajaran di dalam Katolik. Karena kontroversialnya novel ini, pada tahun 1992,
Pemerintah Portugal memveto dari daftar nominasi novel yang dapat penghargaan
sastra Uni Eropa.
Kain (Cain)
merupakan karya terakhir José Saramago—novelis yang lahir di desa kecil bernama
Azinhaga, dekat Lisbon, Portugal, pada 16 November 1922 dan meninggal pada 18
Juni 2010— yang terbit pada 2009. Sedangkan pada 1998, ia dianugerahi
penghargaan Nobel atas karya-karyanya yang berbau parabel bercampur imajinasi,
keharuan, ironi, dan skeptesisme modern terkait kebenaran sejati.
Fenomena Kain
Fenomena José Saramago dengan
novelnya yeng berjudul Kain, adalah
fenomena trauma lintas generasi. Saya tidak dapat memastikan, ia bagian dari
generasi ke berapa dari peradaban manusia yang panjang. Setidaknya, inilah yang
disebut postmemory dalam menulis
ulang kejadian-kejadian masa lalu.
Postmemory mendeskripsikan
hubungan yang dialami oleh post-generasi mengenai ‘trauma personal’, ‘trauma
kolektif’, dan ‘kultural’ dari mereka yang hidup sebelumnya—terhadap pengalaman
yang mereka “ingat” hanya berdasarkan narasi-narasi, image, dan perilaku-perilaku
di sekitarnya saat ia tumbuh dewasa.
Namun, pengalaman-pengalaman tersebut
ditransmisikan secara mendalam dan afektif sehingga seolah menjadi
memori-memori itu sendiri.
Untuk memudahkan, fenomena apa sebenarnya
yang saya maksud sebagai postmemory? Saya
akan mulai dari kisah awal pengusiran Adam dan Hawa dari taman eden (surga)
oleh Tuhan.
Sampai di sini saya tegaskan bahwa José
Saramago mengeksplorasi Alkitab untuk mengutuk Tuhan dengan gayanya yang
satire. Saya akan tunjukkan, misalnya dalam Surat Kejadian 3:1-22 dengan cerita
di dalam Kain, halaman 13-14. Di
dalam Surat Kejadian, dikisahkan bahwa ular itu datang dan berbicara dengan
Hawa. Sedangkan di dalam Kain, ular
itu datang di dalam mimpi Hawa, dan Tuhan mengatakan bahwa ular tidak bisa
bicara selain mendesis.
Dalam cerita Kain, Hawa memakan buah terlarang tersebut hanya untuk menjadi
tahu—sebagaimana Tuhan yang maha tahu dan segalanya—antara yang baik dan buruk,
seperti yang ular jelaskan. Disinilah, titik kulminasi, ketika José Saramago
membalik kisah dengan membubuhkan sifat arogansi terhadap Hawa yang ingin tahu
seperti Tuhan mengenai baik dan buruk.
Bukti lain ‘trauma personal’ José Saramago
terhadap Tuhan, dapat ditandai sejak dibunuhnya Habel oleh Kain di akhir cerita
bagian ke-3, halaman 37. Dengan gamblang dijelaskan, Kain membunuh Habel karena
Kain tidak bisa membunuh Tuhan. Di sinilah awal cerita, di mana Kain
mengembara, dan jelas, bahwa Kain adalah personifikasi José Saramago sendiri
sebagai orang yang ateis.
Sebagai personifikasi si penulis (José
Saramago), dalam kisah Kain pada
bagian-bagian selanjutnya, semakin jelas pemberontakan, gugatan, cibiran bahkan
kutukan kepada Tuhan yang diolah dengan halus, dengan tetap menyadur Alkitab.
Setidaknya pada dua surat penting dalam old
statement, antara surat Kejadian dan Keluaran.
Sebelum beranjak pada ‘trauma kolektif’
dan ‘kultural’ yang dilukiskan oleh José Saramago, saya akan tunjukkan puncak
trauma personalnya sebagai orang yang ingin mengalahkan Tuhan. Misalnya dalam
bagian ke-6, halaman 79, yang menceritakan pengujian Tuhan terhadap Abraham
untuk mempersembahkan anaknya yang bernama Isaac agar dijadikan korban.
Kisah ini, lagi-lagi diangkat dari dalam
Alkitab, Surat Kejadian, 22: 1-19. Dalam surat tersebut, Abraham memenuhi
perintah Tuhan untuk memotong kepala Isaac dan melaikat menggantinya dengan
domba. Sedangkan di dalam kisah Kain, Abaraham
ditahan oleh Kain ketika hendak memotong kepala Isaac, dan malaikat dikisahkan
datang terlembat dengan hanya membawa pesan (janji) Tuhan kepada Abraham.
Dalam momen ini, Kain sebagai personifikasi
José Saramago, menyoal keimanan Abraham terhadap perintah Tuhan sebagai
tindakan yang bodoh. Begitu juga dalam dialog Abrahan dengan Isaac setelah
gagal dikorbankan. Dengan kejadian itu, Isaac disulap José Saramago menjadi
apatis hingga membuat pertanyaan-pertanyaan satire akan posisi ke-mahaan-nya.
Saya kutipkan:
“...tuhan
macam apa yang akan memerintahkan seorang ayah untuk untuk membunuh putranya
sendiri// tuhan biasanya menimpakan keruntuhan atau penyakit atas siapa pun
yang megabaikannya, jadi tuhan itu pendendam?// apakah maksudmu tuhan membikin
orang jadi gila?...”
Halaman 87-88.
Pada akhir bagian ini juga, dengan
mengatasnamakan umat manusia, José Saramago menegaskan, “Sejarah umat manusia adalah sejarah kesalahpahaman antara kita dengan tuhan,
karena ia tidak memahami kita, dan kita tidak memahaminya.” Halaman 94.
Selanjutnya adalah bagian ‘trauma kolektif
dan kultural’ yang akan saya tunjukan bagaimana José Saramago, yang ingin
mengalahkan Tuhan, mengisahkan kejadian masa lalu dengan premis trauma secara
kolektif dan kultural.
Di bagian ke-8, Kain mengisahkan Musa dan kaumnya, Israel, yang kelah perang dengan
kaum Midian. Dan ini adalah kekalahan pertamakalinya dalam sejarah perang kaum
Israel. Perlu saya tunjukkan, José Saramago mengeksplorasi Surat Keluaran, 32:
1-35 untuk berkisah. Dengan mengatasnamakan kolektif kaum Israel dan kaum
Midian, perang diklaim sebagai pekerjaan Tuhan yang paling busuk. Saya
kutibkan:
“...Perang
memang jelas merupakan urusan yang bagus, mungkin yang paling bagus, jika
menilai dari betapa mudahnya, dalam sekejap saja, orang bisa memproleh ribuan
sapi jantan, domba, bagal, dan perempuan, tuhan ini suatu saat akan dikenal
dengan sebagai tuhan perang, dan aku tidak melihat guna dirinya yang lain,
pikir Kain...”
halaman 115.
Usaha Mengalahkan Tuhan
Selain yang di atas tersebut, yang dihujat
Kain adalah kaum yang semula setia menunggu Musa dari puncak Sinai, tiba-tiba
membuat patung sapi dari emas dan disembah, kemudian Tuhan memusnahkan kaum
tersebut. Kejadian ini, bagi Kain dianggap sebagai tindakan Tuhan yang
sewenang-wenang terhadap sebuah kaum yang jelas-jelas selalu dalam lingkaran
kulturnya masing-masing.
Akhirnya, upaya José Saramago untuk
mengalahkan Tuhan terdapat di akhir bagian Kain,
yaitu bagian ke-12 dan bagian ke-13. Kisah ini juga hasil eksplorasi dari Surat
Kejadian, 6: 8-28 yang berkisah tentang Nuh dengan perahunya, air bahnya, dan
musnahnya kaumnya karena digulung bencana yang sengaja Tuhan ciptakan.
Dengan begitu, Kain berusaha merusak
rencana Tuhan dengan membunuh satu persatu keluarga Nuh setelah bersetubuh
dengan dirinya. Alasan disuruh bersetubuh dengan Kain karena menantunya tidak
dapat membuahi anak-anak perempuannya. Sedangkan Tuhan menyuruh Nuh untuk
melakukan regenerasi melalui anak-anaknya sebagai ganti dari kaumnya yang
dihempas air bah.
Dalam kisah ini, Tuhan pun dikisahkan
tidak tahu menahu akan hal itu. Ini adalah upaya terakhir Kain sebagai
personifikasi José Saramago untuk mengutuk, mengelabui, dan (mungkin)
mengalahkan kuasa Tuhan yang selalu sewenang-wenang dengan kemahakuasaannya.
Setidaknya, upaya seorang ateis untuk
mengalahkan Tuhan tidak pernah tercapai. Buktinya, di akhir kisah ini, Tuhan
masih hidup dan Kain pun masih hidup. Namun kemenangan yang tersurat adalah
berakhirnya spesis manusia selain Kain sendiri, atau José Saramago sendiri.
Hingga sekarang, Tuhan masih hidup,
meskipun usaha José Saramago untuk menipu atau bahkan membunuh Tuhan, dengan
Kain sebagai tokoh utamanya yang disulap untuk berpetualang di masa lalu, masa sekarang,
juga di masa depan, hasil akhirnya kosong-kosong. Namun, upaya tersebut
mengajak pembaca untuk merenung, setidaknya menyoal: “...mungkinkah bahwa setan hanyalah instumen lain milik tuhan, yaitu
pihak yang melakukan pekerjaan kotor yang tuhan lebih suka untuk tidak
dikaitkan pada namanya....”
Dengan gaya penulisannya yang menarik,
tanpa tanda petik untuk menunjukkan dialog selain tanda koma, kapital—dapat
melatih ketelitian pembaca—novel Kain ini
sangat menegangkan sekaligus mengesankan. Sekurang-kurangnya mengajak pembaca
berpikir lagi tentang Tuhan, kebenaran, dan realitas yang sebenar-benarnya.
Komentar
Posting Komentar