JUNGKIR BALIK MEMBACA EKO TRIONO
Judul :
Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini
Penulis :
Eko Triono
Penerbit :
Basabasi
Cetakan :
Desember 2017
Tebal :
220 Hlm; 14 x 20 cm
ISBN :
987-602-6651-67-9
Membaca
antologi cerpen terbaru Eko Triono (selanjutnya dibaca ET) ini, teringat dengan
salah satu ceramah Umar Kayam di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada akhir tahun
1970, yang berjudul “Penghayatan Seni dan
Eksplorasi Seni; Dua Wajah Dalam Kehidupan Kebudayaan Kita.” Yang sedikit
banyak berbicara mengenai sastra Indonesia kontemporer yang seharusnya selalu
dihayati dan dieksplorasi dengan sungguh-sunguh.
Kira-kira
begini pemahaman saya tentang ceramah itu, dengan mengutip Richard Kostelanetz,
bahwa sastra Indonesia kontemporer ialah sastra yang coba memahami sifat radikal
masa kini, baik dalam hal bentuk dan isi, di samping hasrat radikal yang
menunjukkan hasrat abadi dalam diri manusia dan di dalam warisan sejarah
kebudayaan yang terus bergejolak hingga sekarang. Sampai di sini, membaca
cerpen ET dalam antologi terbarunya, akan dihadapkan dengan eksperimentasi
bentuk dan isi dari manusia masa kini yang seharusnya diamini.
Sebelum
lebih jauh mengupas eksperimentasi ET, setidaknya karya-karya kontemporer dapat
ditandai pada tahun 1970, ketika Iwan Simatupang dengan beberapa novelnya yang
berjudul Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering dan dramanya yang berjudul Taman, Bulan Bujur Sangkar;
atau novel Putu Wijaya yang berjudul Telegram; dan beberapa drama Arifin C.
Noer dengan judul Kapai-Kapai dan Sumur Tanpa Dasar, menjadi sekelumit
bukti—bukan maksud meniadakan bukti lain—yang bisa dijumpai.
Karya-karya
tersebut mengandung unsur-unsur radikal yang jika bisa dikatakan, meninggalkan
bentuk atau rupa novel konvensional. Tak hayal, Goenawan Mohamad—ulasannya
dalam Budaya Jaya, Juni 1974—menegaskan bahwa dramanya Iwan Simatupang yang
berjudul Taman, “menampilkan tragedi
bahasa serta macetnya dialog antara manusia seperti yang diwujudkan oleh teater
absurd. Selanjutnya dalam dramanya Arifin C. Noer yang berjudul Kapai-Kapai mengandung fatalisme,
cermin hidup yang muram dan tak ada penghibur sejati.
Nah,
kali ini kumpulan cerpennya ET yang berjudul Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini, merupakan buku kedua setelah Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (2016),
yang juga mendapat posisi 5 besar dalam Kusala
Sastra Khatulistiwa setahun yang lalu. Dengan gairah eksplorasi yang
berbeda, cerpen yang terbit pada akhir tahun ini merupakan anak yang sangaja
dilahirkan dengan aneka wajah yang pantas dihayati satu per satu.
Dalam
konteks cerita dan terminologi cerpen yang jamak dipahami dan banyak dilakukan
oleh para penulis, cerpen ET yang berjudul Cerita
dalam Satu Kata (hlm. 15), Cerita dalam
Banyak Katanya (hlm. 16), Cerita
Dewasa (47), Cerita Berbingkai
Bangkai tentang Berita Derita Kita (hlm. 81), Cerita Tanda Tangan (hlm. 103), dan
Cerita yang Mengancam Mendatar dan
Mengancam Menurun (hlm. 152), sependek pemahaman saya, merupakan suatu
dekonstruksi bentuk dan cerita yang semestinya mengandung tokoh, plot, dan
alur, dan tidak pada unsur lain yang bernama ‘ide’. Karena, diakui ataupun
tidak, beberapa cerita di atas merupakan sebuah ‘ide’ yang sengaja ET lakukan
untuk mencapai upaya ekperimentalnya.
Sampai
di sini, bisa diteguhkan bahwa inilah upaya ET yang bisa dikategorikan sebagai
sastra kontemporer yang patut diapresiasi meskipun menggugurkan hal lain yang
sama-sama penting dalam konteks cerpen secara terminologis. Meskipun upaya ini,
menurut saya hanya berkisar pada bentuk sebuah cerita yang diolah dengan tidak
bebas ide. Meskipun sebatas bentuk, bukan berarti menggugurkan nilai
eksperimental, ide, juga sebuah pengalaman, dan pemahaman yang dalam tentang
cerpen.
Inilah
upaya falsifikasi yang dilakukan ET untuk menjungkirbalikkan kebenaran teori
lama yang mungkin dianggap jumud dan kaku. Karena verifikasi terhadap teori
lama, adalah upaya yang sama-sama benar adanya. Dengan begitu keduanya
sama-sama dapat dibenarkan dan dapat dilakukan. Dan yang perlu diingat, proses
keduanya merupakan dialektika pengetahuan yang harus sepantasnya selalu
dilakukan, sebagaimana ET melakukannya.
Dalam
cerpen selain yang disebutkan di atas, misal yang berjudul Cerita Pendek dan Cerita Panjang (hlm. 32). Bercerita tentang
perdebatan cerita pendek dan cerita panjang dalam ranah historis, posisi, dan
peranan yang kemungkinannya tidak akan pernah selesai. Selain itu, perdebatan
keduanya berasosiasi dengan perbedaan kelas masyarakat antara kelas borjuis dan
proletar, atau Barat dan Timur. Di sinilah realitas penting yang coba dieksplorasi
dalam cerpen di atas.
Misal
dalam cerpen yang berjudul Cerita Sesuai
Selera Pasar (hlm. 53), cerpen ini dibuka dengan pernyataan alegoris yang
ambigu: tentang perkembangan sastra mutakhir yang menuntut penulis untuk
menyesuaikan dengan selera pasar (koran), tidak pada idealisme seorang penulis;
atau tentang praktik politik yang juga dijual sesuai selera pasar demi mencapai
tujuannya. Pada saat inilah, sebagaimana penjual cerita yang meyakinkan tokoh
‘aku’, bahwa kontestasi politik bisa dimenangkan siapa saja asal dapat membeli
dan menjual cerita (agama, etnis), meskipun mereduksi nilai politik yang
semestinya.
Dan
cerita di atas merupakan salah satu cerpen paling panjang yang menarik dalam
buku ini. Sejenis autokritik terhadap semua realitas aktual yang kerap
mencederai nila-nilai luhur sebuah tatanan yang sudah mapan. Hal ini menjadi catatan
penting bahwa ET tidak melulu terjebak pada upaya eksperimental belaka,
melainkan ikut andil mengkritisi fenomena sosial yang semakin hari semakin
tercemar dan mengenaskan.
Lain
lagi dalam cerpen yang berjudul Cerita
dalam Riwayat Ceritanya (hlm. 84), ET mengeksplorasi semua peranan manusia,
baik penjual jamu, tukang sol sepatu, tukang parkir, penjual bakso, hingga
penjual tubuh (pelacur) dalam satu tokoh cerita, yaitu prihal kembaran Syekh
Saridin. Cerita ini tak ubahnya sebuah bingkai yang bundar dengan segala
peranan dalam setiap bentuknya. Dari ketiga cerpen yang saya terka inilah eksperimentasi
dalam isi cerita, saya tegaskan sebagai upaya yang juga menarik untuk
digarisbawahi.
Akan
tetapi, buku setebal 220 halaman ini juga memuat beberapa cerpen yang saya
anggap cacat selain sebagai pelengkap dari berbagai upaya eksperimentasinya.
Tentu, istilah cacat itu saya sejajarkan dengan unsur eksperimen yang berupa
verifikasi atau pun falsifikasi pada teori, yang mungkin saja, saya juga salah
memahaminya. Misal, dalam cerpen Cerita
Universal (hlm. 82), Cerita dalam
Pertemuan Kita (hlm. 13), Cerita
Remaja (48), dan Cerita Pesan Moral
(49). Pembaca akan dihadapkan dengan cerpen yang pendek, bisa saja satu
paragraf atau dua, dengan bangunan cerita yang pincang. Atau bisa dikatakan,
upaya ekperimentasi yang nanggung.
Barangkali,
yang saya anggap cacat di atas, adalah apa yang dikatakan Anton Kurnia sebagai
metafiksi. Seperti kumpulan cerita tentang sebuah cerita. Dengan elemen-elemen metafiksi seperti cerita yang berkisah tentang
cerita, keterlibatan tokoh cerita di dalam cerita secara sadar, pemberontakan
kerakter cerita, hingga pelibatan pembaca secara aktif untuk memproduksi makna.
Namun pandangan saya dengan Anton Kurnia sama-sama berbasis pada subjektivitas
belaka. Kebenarannya mengendap di dalam tempurung kepala pembaca masing-masing.
Dengan
begitu, antologi cerpen ini tetaplah penting dibaca oleh siapapun, dengan
alasan, bahwa pembaca—dalam cerpen yang berjudul Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini (161), yang kemudian menjadi judul
buku ini—akan dihadapkan dengan kredo “kamu
sedang membaca tulisan ini. Dan kamu akan mengikuti apa saja yang diminta
tulisan ini dari pikiranmu.” Merupakan gairah pembebasan yang coba
ditransfer oleh ET kepada pembaca untuk bebas dalam membaca, berimajinasi, dan
menafsirkannya.
Dan
pada akhirnya, seperti dalam esai ET sendiri di Basabasi, 20 April 2017, bahwa
dalam teologi penciptaan berlaku creatio
ex nihilo—penciptaan dari ketiadaan—tidaklah dimiliki oleh siapapun, selain
Tuhan itu sendiri. Karena manusia (penulis, juga penulis resensi ini) berada dalam
kreativitas yang terbatas atau no creatio
ex nihilo—tidak bisa mengada dari ketiadaan sebagaimana Tuhan.
Komentar
Posting Komentar